Thursday 25 April 2013

Disini Memulai dan Tidak Akan Berakhir


Bertahun-tahun sudah menjabat sebagai Kepala Divisi Music Director di 107.7 FiestA FM, tiada yang akan mengira ini menjadi sebuah gerbang kehidupan. Bermulai dengan modal nekat dan gairah bermusik semata, kini telah berkembang kepada tingkatan yang tidak pernah terbayangkan. Tiada menyangka hal-hal kecil, kini berkembang menjadi hal yang luar biasa dan cukup diluar ekspetasi awal.
107.7 FiestA FM ID Card
November 2009 menjadi awal segalanya, dimana dengan lugu polos namun niat yang bulat memulai memasuki sebuah ruangan studio kuning. Hasrat untuk bergabung di dunia akhirnya di depan mata, penantian yang cukup panjang dan mendebarkan. Sekian lama untuk bisa berkecimpung di dunia broadcasting terlaksana. Di mulai dengan sebuah radio kampus di FISIP UNS berdaya jangkau 3-5 KM. Persetan dengan jangkauan yang penting mulai belajar dan naikkan tensi gairah bersenang-senang.

Banyak hal-hal absurd terjadi. Dimulai liputan pertama di Bandung, pemilihan Kadiv. MD, divisi musik yang berantakan, serta pemilihan GM, dsb. Tiada bisa disebutkan setiap hal secara terperinci dan detail, namun semua cerita itu tergores rapi di secarik kertas yang bernama kenangan. Jelas tinta pengalaman tidak akan terlupa dan selalu terkenang. Suka duka selama 3.5 tahun menjabat mungkin terbilang sebentar namun tidak sesingkat yang diperkirakan. Seorang Jimi Multazam akan berkata "semua terekam tak pernah mati."

Kini, sudah saatnya berganti tangan. Memindahkan kuasa ini kepada mereka yang lebih bergairah dan bersemangat. Memberikan mereka kesempatan untuk belajar dan berkarya lebih untuk 107.7 FiestA FM, terutama dirinya sendiri. Tiada terucap terima kasih untuk segenap crew 107.7 FiestA FM dan alumni. Tidak. bukan crew 107.7 FiestA FM namun keluarga 107.7 FiestA FM lebih tepatnya. Tali rasa yang tersambung semoga selalu terjaga, dan menghiasi hidup.

Tuesday 23 April 2013

Meltic: Duo Minimalis Masa Kini Rasa Pop 90’ Akhir

 Tidak banyak musisi pop di Kota Solo yang benar-benar tampak dan eksis. Mungkin itu adalah prakata yang cukup tepat untuk menggambarkan scene musik pop di Kota Bengawan. Solo termasyur karena scene metal yang sudah tidak usah diragukan lagi gaungnya. Jikalau ada musisi pop yang hadir, biasanya hanya selintas dan keberadaanya bak oase di padang yang tandus. Maka bisa dibilang Meltic adalah salah satu oase tersebut dan kini cukup ramai diperbincangkan di kalangan hipster Kota Solo.

Band yang terbentuk beberapa tahun silam ini beranggotakan 2 pria yang tampaknya terjebak dalam kisah cinta long distance relationship (LDR) yakni Azis Indro dan Fajri Nossa. Bagi penikmat dan pengamat scene indie di Solo, kedua jejaka tampan ini sudahlah tidak asing. Azis adalah personil unit bengal asli Solo “Sweet Killer” dan Fajri salah satu pentolan dari “PopRadio” yang juga tak akan lama lagi merilis album. Meltic yang mengklaim diri mereka mengusung jazz/accoustic pada awal tahun 2013 ini merilis debut album mereka “Tujuh Belas”.
Album "Tujuh Belas" Meltic
Album perdana mereka ini dimulai dengan 6 lagu plus 1 lagu remix cukup segar untuk didengarkan. Kembali pada format akustik, 6 materi Meltic cukup menyenangkan untuk didengarkan dikala apapun. Easy listening, kalem, dan rapi terdengar ditelinga membuat album “Tujuh Belas” cukup menyenangkan untuk didengarkan dikala santai ataupun menjelang istirahat. Untuk departemen lirik pun, masih bertemakan cinta dan lirik yang disajikan cukup lugas tanpa banyak mengeluarkan kata demi kata maut penebar cinta. Album “Tujuh Belas” ini terasa seperti sebuah cerita yang ingin Aziz dan Fajri ini bagikan kepada yang mendengarkan.

Dilagu pertama yakni “Jauh”, sebuah tembang yang berceritakan soal LDR. Perasaan khawatir perasaan yang kandas dilibas oleh jarak antar dua insan yang bercinta. Takala mendengarkan lagu ini pertama kali cukup kaget karena materi ini direkam dengan full set instrumen band. Di luar prediksi tapi menjadi lagu yang menyenangkan untuk membuka cerita “Tujuh Belas”.

“Rindu” menjadi penghias lagu selanjutnya. Tampaknya disini menjadi sebuah kegoyahan perasaan takala mulai ditinggal. Mungkin itu adalah rasa un-move on feeling. Akan tetapi disini disajikan apa yang menjadi ekspektasi diawal. Petikan senar yang santai dan kalem, tampaknya lagu ini harus dihindari ketika rindu melanda perasaan.

Masih berkutat dengan gejolak rindu dihati, “Hujan” masih melanjutkan perasaan sebelumnya. Hanya saja kali ini lebih dibawakan sedikit lebih cheerful dan sudah mulai terbiasa dengan perasaan rindu ini. “Biar-biarlah hujan membawa seribu kenangan indah antara kita berdua.”

Pemberi harapan palsu (PHP) menjadi tema yang dijadikan di lagu ini. Apakah jarak dan mulainya mengilang perlahan menjadi signal PHP? Mulailah sadar dan mulai mencari kepastian. Full set band menjadi pengiring materi “Apa Benar Cinta” dan menyenangkan untuk didengarkan ditengah-tengah list lagu. Terasa tidak membosankan dan monton. Penempatan yang tepat di tengah.

Pada lagu akhirnya jelas sekali bagaimana posisi hubungan kedunya. It’s like friendzone dan cinta bertepuk sebelah tangan karena baginya “Wanita Terindah”. Saatnya kembali menuju musik melankolis dan ekspetasi duo akustik. Sangat menyegarkan dan menyenangkan untuk didengarkan.

Track ke-6 adalah lagu penutup ”Biarlah” dan disini adalah titik move on di “Tujuh Belas”. Suasana yang lagu yang ceria dan liriknya disini terasa nyata. Liriknya pun tidak terlalu lacur untuk didengarkan namun tidak terlalu puitis. “Selama aku masih bisa menikmati mentari pagi ini yang setia menemani hingga akhir waktu…”

Secara keseluruhan, sound dan lirik yang digubah oleh band yang memiliki akun twitter @melticIndonesia ini melempar saya ke era 90-an akhir. Sekilas mendengarkan album perdana Meltic ini mengingatkan pada band semacam Caffein, Tic Band, Ada Band di era awal, serta sejenisnya. Liriknya tidak terlalu puitis namun tidak juga terlalu merakyat untuk istilah dan diksi yang digunakan. Membeli album Meltic “Tujuh Belas” tidak memberikan penyesalan. Memberikan warna tersendiri di scene musik kota yang berslogan Spirit of Java. Semoga akan ada album selanjutnya.

*Tulisan ini juga dimuat Dean Street Billy's

Monday 22 April 2013

"Daur, Baur" Pandai Besi: Sentuhan Baru, Materi Lama

Bagi penikmat dan pengamat scene indies Indonesia, beberapa bulan belakangan ini ramai diperbincangkan tentang Pandai Besi. Mungkin sebagian orang banyak yang tidak familiar dengan Pandai Besi, namun apabila menyebut Efek Rumah Kaca (ERK) maka semua akan termangut paham. Pandai Besi merupakan sebuah project sampingan Efek Rumah Kaca disela-sela pengerjaan album ke-3. Untuk mengatasi kebosanan memainkan lagu-lagu dari dua album mereka, Efek Rumah Kaca membuat unit khusus yang mengaransemen lagu-lagu dari dua album terdahulu. Unit Arransmen itu bernama Pandai Besi. "Daur, Baur" hadir atas buah kesenangan Pandai Besi.

Biasanya project sampingan hanya untuk bersenang-senang mengatasi kebosanan, tapi ketika senang-senang itu menjadi sebuah project serius maka direkamlah lagu-lagu arransmen Pandai Besi. Dimana 9 lagu Efek Rumah Kaca kemudian di acak-acak kembali oleh Cholil Mahmud (vokal, gitar) dan Akbar Bagus Sudibyo (drum) ditambah Airil “Poppie” Nurabadiansyah (bas), Andi “Hans” Sabarudin (gitar), Muhammad Asranur (piano), Agustinus Panji Mahardika (terompet), dan Nastasha Abigail serta Irma (vokal latar). Keseriusan ini ditambah dengan pengerjaanya arransmen ini sendiri dilakukan di Studio Lokananta. Sebuah Studio klasik dengan kekuatan magis musikalitasnya yang sudah teruji klinis.
Masalah materi lagu tidak usah dibahas karena hampir semua orang mengetahui bagaimana materi lagu yang dimiliki ERK sudah sangat mumpuni. Hal yang menarik yang sedikit dibahas adalah keseksian Pandai Besi dalam memporak porandakan lagu-lagu ERK dan kemudian membangun dengan interpretasi mereka. Hasilnya sangat menyegarkan, lebih meriah, dan lebih sexy. Menyegarkan karena jelas musik yang dihasilkan berbeda dengan arransmen baru, lebih meriah karena Pandai Besi berdiri atas delapan orang dengan kemampuan khususnya, serta lebih seksi dengan aura yang diberikan.

Hanya saja, entah karena saya menyaksikan dengan segenap indera perasa saat pengerjaan album ini atau kuping saya yang fals, sound yang dihasilkan ketika lagu ini sudah dipadatkan menjadi cakram tidak sesuai dengan apa yang saya rasakan saat lagu-lagu ini direkam. Bagi saya terasa sound yang dihasilkan saat usai direkam terasa lebih menggelegar dan lepas. Terlepas dari itu, saya ingin mengacungkan jempol untuk Lokananta. Bagaimana ruang studio dan tata akustiknya sungguh luar biasa. Suara yang dihasilkan terbilang cukup jelas dan denting demi denting setiap instrumen terasa. Tiada yang bercampur baur dan semua pas pada porsinya.

Selamat mendengarkan "Daur, Baur" dan nikmati hasil karya kalian semua (orang-orang yang terlibat crowdfunding). Rasakan daurannya, dan pada akhirnya, semua akan membaur di dalam Pandai Besi.

*Tulisan ini juga dimuat oleh Dean Street Billy's

Sunday 21 April 2013

Bekerja di Banyak Media ? Siapa Takut !


FISIP POS - Berkecimpung di dunia jurnalistik menjadi salah satu hobi dari seorang mahasiswa tingkat akhir UNS bernama Ekawan Raharja. Memang orang-orang disekitarnya hanya menganggap teman atau mahasiswa yang biasa-biasa saja. Namun, pada saat dia sudah melepaskan seragam kuliahnya, dia telah menjadi seorang public figure karena menjadi orang yang sangat penting di dunia media, khususnya media music.
Ekawan mengatakan, memang suka dengan hal yang berbau jurnalistik dan nantinya akan digunakan pada saat berada di dunia kerja, serta rasa cinta terhadap dunia music dijadikan alasan mengapa memilih menjadi seorang jurnalis musik di beberapa media. Dimulai dengan bergelut di dunia fotografi, karena memang suka memfoto dan difoto sejak kecil. Kemudian berkembang untuk membuat blog, mencontoh tulisan di media dan mulai belajar menulis. Kemampuannya dalam menulis pun terus bertambah seringin dengan perkuliahan jurnalistik yang membuat dia lebih matang dan terasah dalam teknik menulis.
Ekawan yang saat ini resmi terdaftar di depanmonitor, irockumentary, serta membantu di beberapa media seperti Jakarta Stage (RIP), Review Bastard, dan House of Horror mengaku sering bingung bagaimana cara menghadapi penugasan dari beberapa media dalam satu liputan acara. Namun, dia pintar dalam mensiasatinya. Cukup dengan membuat tulisan yang berbeda dari segi pemilihan kalimat, sedangkan ketika membuat berita langsung, perbedaan dalam mengambil angle berita menjadi pilihannya. Menurutnya, yang paling susah adalah ketika dituntut membuat review suatu acara, dimana harus menjelaskan jalannya acara secara berbeda-beda.
Ekawan mengaku sangat senang menjadi seorang jurnalis musik, dengan cara tersebut dia berhasil mendapatkan banyak teman dan seringkali mendapatkan ‘free pass’ ketika menghadiri acara music. Bagaimana tidak? Dia menjadi kontributor musik di Solo, jika terdapat acara musik di Solo, dia yang meliput. Tidak hanya itu, ketika dihubungi dengan salah satu kantor untuk liputan ke luar kota pun, dia mampu mendapatkan gratisan nonton konser yang cukup besar  dengan jangakuan cukup luas, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.
 
Namun bukan hidup kalau lurus-lurus saja, ekawan pun kesusahan ketika dia hanya mempunyai satu bahan berita, namun harus dibagi ke media yang berbeda-beda. Tetapi bukan ekawan kalau tidak banyak akal, dia selalu pintar mensiasati apapun masalahnya. Menurutnya, spesialisasi dari setiap media berbeda-beda, Irockumentary merupakan media foto, Review Bastard, House of Horror, dan Dean Street Billy’s adalah medua tulis, dan Fiesta Fm serta RKTI merupakan media broadcasting radio, jadi selama masih bisa dipegang dan dikerjakan, ekawan selalu santai untuk menghadapinya. (Sabhrina Herawati / D0210106)
Tulisan diatas merupakan karya dari Sabhrina Herawati, mahasiswi semester enam Ilmu Komunikasi UNS, turuntuk tugas Jurnalistik 2. Saya upload dan berterima kasih untuk tulisannya tentang saya. sedikit aneh takala saya terbiasa menulis profile untuk orang lain, namun kali ini saya menjadi objek tulisan untaian diksi. Terima kasih dan semoga sukses dengan kuliahnya.