Tuesday, 17 December 2013

Haruskah Kita Merasa Puas?

Teringat dengan perbincangan singkat dengan Yudita Trisnanda beberapa hari silam. Layaknya komentator, bahasan tentang gaya hidup mahasiswa masa kini yang beraneka ragam terlontar ekspresif. Mulai dari yang luar biasa mengagumkan hingga luar biasa mengundang helaan nafas. Meski singkat namun berjuta makna yang bisa diangkat untuk diambil hikmahnya. Salah satu hikmah yang bisa diambil adalah perihal kepuasan.
Salah satu hal yang bikin gw gak pernah puas sih yah koleksi apa yang gw pegang.
Kembali teringat dengan sebuah celetukan "Namanya juga manusia, gak pernah puas!" yang cukup akrab di telinga. Secara ilmiah hal tersebut ada benarnya. Terbukti Abraham Maslow membuat teori Hierarki Kebutuhan. Teori ini muncul karena Maslow sendiri memiliki latar belakang sebagai Psikolog Humanistik, dimana dia percaya bahwa manusia berusaha untuk mencapai kemampuan terbaiknya. Sehingga manusia akan terus dan terus menggali potensi dalam dirinya.

Tidak pernah merasa puas tentu menjadi sebuah sifat yang cukup baik. Sebuah bentuk kritis terhadap hal-hal yang ada disekitarnya. Tentu saja diperbolehkan untuk tidak merasa puas dan terus menerus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Layaknya seorang karyawan yang tidak pernah merasa puas sebagai karyawan biasa, mahasiswa yang tidak pernah puas sebelum meraih nilai sempurna, ataupun seorang mahkluk hidup yang tidak pernah puas akan pahala yang didapatnya. Semua sah dan diharuskan tidak lekas berpuas diri.

Akan tetapi bagaimana posisinya bila ketidakpuasan tersebut melebihi ambang kemampuan dirinya? haruskah kita tetap harus tidak berpuas diri? Apakah kita harus terus mengejar rasa dahaga manusiawi? Banyak kasus belakangan ini, ketidakpuasan yang membabi buta dan gelap membuat semua salah langkah. Banyaknya teriakan ketidakpuasan membuat lupa untuk mempelajari syukur. Semua ada kesimbangannya, dan ketidakpuasan memiliki anti yakni syukur.

Jadi, sudahkah kalian bercermin dan menilik diri kalian sendiri hari ini? Sudahkah kalian melihat kondisi dan tertawa menertawakan diri sendiri? Semua sah, bebas berpendapat. Pada akhirnya semua pun akan kembali kepada jiwa masing-masing dalam menjalani cerita hidup sendiri.

Thursday, 12 December 2013

Resah

Selfie dengan muka suram bair agak kekinian
Entahlah bagaimana rasanya semacam pergi tanpa arah peraduan yang jelas. Di depan tampak hitam dan gelap. Ingin kaki melangkah jauh menuju titik terang, tanpa alas injak yang selama ini dikenakan. Ingin berjalan menerabas jalan dengan tangan yang kasar dan lemah ini. Ingin rasa bangkit dari kursi yang nyaman dan empuk. Sekali lagi, semua teramat sangat ingin dilakukan namun gelap dan membuat hati bergelimpangan gundah. Resah tampaknya membayangi rasa yang sudah lama nyaman pada peraduan yang semu.

Gelap harus dilawan dengan cahaya, menampik rasa sulit yang mulai memainkan bola es. Resah? Iya, menyelimuti bayang kedepan tanpa harus tahu kemana tujuan. Akankah saya menjadi makhluk yang tenggelam dalam keresahan? sama dengan jutaan makhluk yang tenggelam dalam keresahaan dan tidak pernah lagi tampak tempurung kepalanya? Semoga saja yang pemilik cahaya hendak bermurah hati membagi kepada makhluk yang lemah dan tidak memiliki daya.