Wednesday, 16 March 2011

Dimanakah Tawa Kecil Polos itu?

16 Maret 2011, inilah pertama kali sejak tahun 2011 gw bisa merasakan matahari di sore hari. Sudah berapa lama entahlah gw mencari-cari matahari sore yang sangat langka bagi gw pribadi. Pada hari biasa-biasanya sang surya pada siang hari sudah mulai tenggelam di balik mega mendung yang hitam ataupun kalah oleh curah hujan. Bisa menikmati matahari di sore hari mungkin ini adalah berkah bagi gw yang sangat merindu akan nikmatnya senja hari. Namun ada suatu yang hilang di sore ini. Sebuah kekhasan yang harusnya mengisi sore yang cerah agar tampak dan terasa indah. Dimanakah suara tawa anak kecil yang riang dan gembira?

Biasanya sekitar pukul 16.00 sampai 17.00 adalah waktu dimana anak-anak keluar bermain dan menikmati masa kecil polosnya itu. Solo, sebuah kota kecil modern yang sangat kental dengan kultur jawa, 4 tahun yang lalu ketika gw pertama kali pindah kesini sangat kencang dan lepas terasa tawa anak-anak kecil yang bermain dengan riang. Entah ada apa di depan rumah gw selain tong sampah dan got yang terbuka, anak-anak kecil setiap sore kerap sekali bermpul dan bermain dengan riang gembira. Mereka memainkan apa saja yang mereka bisa mainkan terkadang sepak bola meskipun bolanya sering masuk rumah orang, bermain bulu tangkis dan kerap luput dalam memukul, lombat tali semua ikut membaur, atau pun sekedar berlari-lari riang. Sangat menyebalkan ketika sore hari telah penat akibat sekolah yang kian membodohi, aktivitas yang padat, udara siang panas, belum makan siang dan semua itu ditambah dengan gelak tawa mereka yang kadang tak terkontrol dan selepas yang mereka bisa. Namun hari kian hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun tawa itu perlahan menghilang. Saat ini ketika gw kehilangan itu, gw berpikir betapa polosnya anak-anak itu tertawa, berlari, bercengkrama, dan mengangis. Menyebalkan memang namun itu sangat menyenangkan dan luar biasa. Jengkel bila mendengarkan suara mereka yang berisik dan membahana sepanjang jalan namun ketika melihat wajah mereka, kejengkelan itu sirna dalam sekajab. Timbullah sebuah semangat dan asa, semacam doping berdosis tinggi, yang membuat hari terasa indah dan menjadi sebuah energi positive baru.

Kini saat tawa itu hilang, yang ada hanyalah rasa penat dan suntuk rutinitas yang tersisa. Tak ada lagi doping yang siap memberikan semangat baru yang berlimpah. Kemanakah tawa itu? Akankah tawa itu hadir kembali?

2 comments:

  1. jadi kangen jakarta. tapi dijakarta malah ga bakal bisa nemuin hal hal yang kaya gitu ya Ka.. *sigh

    ReplyDelete
  2. orang tua sekarang lebih memilih anaknya belajar berdasarkan kurikulum ketimbang beradasarkan apa yang alam ajarkan.

    ReplyDelete