Alone At Last |
Selama ini pemerintah berbicara mengenai kebudayaan yakni segala sebangsa adat istiadat, norma-norma, gerak tari klasik, arsitektur lawas, dan segala sesuatunya yang mengandung nilai bersejarah. Hal-hal tersebut yang kerap dibahas oleh pemerintah seputar kebudayaan membuat sebuah citra dibenak masyarakat bahwa kebudayaan itu adalah hal-hal klasik dan historical. Tak pelak masyarakat tidaklah sadar bahwasanya budaya bukan hanya kepemilikan para orang-orang pendahulu kita saja sehingga lupa bahwa sekarang pun semua orang bisa menciptakan kebudayaan.
Membahas musik, pemerintah nampaknya sebelah mata menghadapi ini. Antara menyadari atau tidak bahwa musik itu hadir dan memiliki masa tersendiri. Bagaimana musik bisa tampak manis dan menjilat pemerintah ketika berisikan sanjungan-sanjungan setinggi langit kepada mereka yang dipertuankan, dan bagaimana musik bisa menjelma menjari sebuah racun yang siap menggerogoti tampak kekuasaan. Mungkin ini sedikit banyak alasan kepada pemerintah agak malas menanggapi masalah musik. Pemerintah mungkin akan menganggap ini sebuah judi ketika memelihara industri musik sebagai salah satu sektor perekonomian, terlebih memelihara sebagai kebudayaan.
Menilik Korea Selatan yang sedang gencarnya mempromosikan musik mereka sebagai salah satu kebudayaan mereka. Efek yang dihasilkan bagai membuat gunung emas yang menggiurkan setiap orang yang menyaksikan. Korea Selatan yang terkenal akan industinya sekarang mulai dikenal sebagai salah satu kiblat bermusik dunia. Racun K-pop (dibaca Korean Pop) menyihir dunia dalam bermusik terutama musik-musik pop yang lucu, lincah, dan menggemaskan ditambah koreography panggung nan ciamik. Berawal sedari menjual musik K-pop sehingga dunia mulai melirik lebih kedalam ada apa saja yang dipunyai oleh Korea Selatan. Meningkatkan pariwisata mereka selaras memperkenalkan kebudayaan mereka yang diagungkan.
Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah pemerintah mengklaim musik mereka sebagai sebuah aset kebudayaan yang mereka punya? Lekaslah sadar bahwa musik pun bagian musik yang membanggakan Indonesia dan disinilah salah satu kebanggan yang Indonesia miliki.
Membahas musik, pemerintah nampaknya sebelah mata menghadapi ini. Antara menyadari atau tidak bahwa musik itu hadir dan memiliki masa tersendiri. Bagaimana musik bisa tampak manis dan menjilat pemerintah ketika berisikan sanjungan-sanjungan setinggi langit kepada mereka yang dipertuankan, dan bagaimana musik bisa menjelma menjari sebuah racun yang siap menggerogoti tampak kekuasaan. Mungkin ini sedikit banyak alasan kepada pemerintah agak malas menanggapi masalah musik. Pemerintah mungkin akan menganggap ini sebuah judi ketika memelihara industri musik sebagai salah satu sektor perekonomian, terlebih memelihara sebagai kebudayaan.
Menilik Korea Selatan yang sedang gencarnya mempromosikan musik mereka sebagai salah satu kebudayaan mereka. Efek yang dihasilkan bagai membuat gunung emas yang menggiurkan setiap orang yang menyaksikan. Korea Selatan yang terkenal akan industinya sekarang mulai dikenal sebagai salah satu kiblat bermusik dunia. Racun K-pop (dibaca Korean Pop) menyihir dunia dalam bermusik terutama musik-musik pop yang lucu, lincah, dan menggemaskan ditambah koreography panggung nan ciamik. Berawal sedari menjual musik K-pop sehingga dunia mulai melirik lebih kedalam ada apa saja yang dipunyai oleh Korea Selatan. Meningkatkan pariwisata mereka selaras memperkenalkan kebudayaan mereka yang diagungkan.
Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah pemerintah mengklaim musik mereka sebagai sebuah aset kebudayaan yang mereka punya? Lekaslah sadar bahwa musik pun bagian musik yang membanggakan Indonesia dan disinilah salah satu kebanggan yang Indonesia miliki.
No comments:
Post a Comment