Monday, 26 November 2012

Fashion Show Dan Belajar

25 November 2012 adalah hari dimana ECLAIR, sebuah brand fashion dari Solo, mengadakan acara fashion show di Solo's Bistro. ECLAIR memamerkan koleksi terbaru untuk edisi musim gugur dan musim dingin. Jelas sekali akan banyak wanita-wanita menggemaskan hadir untuk menyaksikan acara ini dan ini menjadi salah satu alasan sip yes langsung berangkat liputan. Sesungguhnya pula ini menjadi liputan pertama selain acara musik. Selama ini yang dihadapi adalah kerumuman orang-orang banyak penyembah bebunyian dan atraksi panggung yang ekpresif dan eksplosif. Akan tetapi hari berbeda dan menjadikan sebuah pengalaman baru.
Canggung, kikuk, dan bingung itu adalah perasaan pertama yang muncul ketika awal liputan. Ini merupakan pertama kalinya liputan fashion show dan tidak ada bayangan bagaimana prosesinya kelak berlangsung dalam hitungan jam kedepan. Kemudian crowd yang dihadapi pun berbeda dan udara dingin menyeruak mulai menyelusuri ubun-ubun perasaan. Beruntung diselenggarakannya acara konfrensi pers, meskipun sepi dan jujur saya sedikit heran, dan banyak hal yang bisa ditangkap untuk dijadikan bahan liputan serta pembelajaran pribadi. 

Bertemu dengan Uci, desainer sekaligus pemilik brand ECLAIR, sungguh menyenangkan sekali. Bertemu dengan orang yang sangat kuat dengan keinginannya serta mengetahui apa dunianya membuat ia tampak mengesankan. Bagaimana dia bertutur dengan tegas dan fasih dibalik suaranya yang lembut, menceritakan visinya dengan jelas dan to the point, serta tatapannya yang tajam dibalik bingkai kacamatanya mengisyaratkan bahwa dia benar-benar memahami bagaimana dia memanjakan kepuasaan batinnya. Apa yang menjadi dunia benar-benar ditekuni dengan baik dan bisa dibilang kini menjadi sebuah kepuasaan yang tak terhingga. 

Dibalik itu semua, memberikan pelajaran yang benar-benar sangat penting dan menjadikan contoh yang baik. Bagaimana dia menekui apa yang dicintai dan mengarahkan passion yang dimiliki menuju titik terang yang benderang. Jelas hal ini perlu dicontoh dan menjadi inspirasi untuk kita semua. Tak hanya bermimpi dan hilang tertipu sapuan imajinasi, namun aksi dan reaksi harus segera dilakukan. Apapun passion-mu tekuni dan jalani dengan serius. 

Saturday, 24 November 2012

Teman Meliput di Ngayogjazz 2012

Yudita Trisnanda
Kalau dahulu biasanya luntang-lantung sendiri hanya berkutat pada kamera dan panggung didepan mata, maka Ngayogjazz 2012 ada yang menemani meliput. Meski dia tidak meliput dan hanya sekedar menemani, namun terima kasih sudah diantar dan dijemput untuk menuju venue. Sayang Yudita gagal menonton Barry Likumahuwa. Maybe next time, we can see another gigs and party!

Thursday, 8 November 2012

Suara Dari Surga Itu Terekam di Piringan Hitam

Suatu siang yang sepi dan panas. Tiada aktivitas yang berarti di Lokananta yang kusam dan tampak berjalan lambat disana. Hanya suara tembang-tembang lawas yang mengisi ruang disana. Sebuah lagu hasil rekaman Lokananta dan kemudian diperdengarkan melalui ruang mastering. Sebuah ruangan yang sebenarnya cukup besar namun sesak dengan tumpukan kardus-kardus dan bongkahan piringan hitam yang tersusun. Yah, di ruangan inilah lagu-lagu Lokananta berkumpul menjadi benda yang kasat mata.
Produksi Lokananta
Penuhnya jadwal kuliah dan tugas yang menjejali otak, tak mampu menyurutkan niat untuk bergerilia memutarkan piringan hitam di Lokananta. Sedari pagi kuliah dimulai sampai adzan Dzuhur berkumandang, sebuah piringan hitam yang terbungkus plastik putih tak bergeming sedikit pun. Duduk rapi disamping dan sesekali beberapa pasang mata menuju kepadanya. melirik jam tangan yang setia menemai beberapa tahun ini, pukul 12.00 WIB terpampang dilayarnya. Kuliah usai dengan menyisakan tugas yang bertumpuk dan emosi yang siap meledak.

Lokananta
Saatnya memacu kuda hitam menuju Lokananta, melawati dan melawan panasnya terik matahari yang membakar. Desingan kenalpot dan asap jahat kendaraan bermotor ditabrak dengan kecepatan penuh. Sulit menahan hasrat untuk bermain-main dengan vinyl yang sudah berumur dan sedikit kusam. Tiada kuasa jiwa ini berteriak agar semua terlewati sekejap dan seketika sampai di studio yang paling tua di Indonesia. Berjabat tangan dengan Mas Bemby, penguasa ruangan mastering, dan sedikit bercerita menjadi intro sebelum akhirnya hasrat ini tertuntaskan. Seketika diraihnya piringan hitam yang sejak tadi ingin sekali dijamah dan diperlakukan sebagai mana mestinya. Diletaklah Piringan hitam tersebut disebuah alat pemutar dan jarum pemutar pun diletakkan diatas permukaanya yang hitam, sedikit berdebu, dan kusam.

"Mari-Mari" membuka salam di lagu pertama dan sound khas ala piringan hitam pun diperdengarkan. Bergelinjang resah, gejolak jiwa, serta kerongkongan yang kering sudah di ujungnya. Lagu gubahan Titiek Puspa kali ini diporak-porandakan oleh unit Rock and Roll wanita asal Surabaya, Dara Puspita. Album pertama, Jang Pertama, setelah sekian tahun akhirnya kembali bergaung di seluruh gedung Lokananta. "Minggu Yang Lalu" melanjutkan sensasi yang terbangun sejak awal Dara Puspita bernyanyi. Andai saja itu bukan ruangan kerja, mungkin dansa barbar pun telah terjadi diruangan tersebut. Track demi track pun terlewat disenandungkan sembari sesekali bertukar cerita dengan Mas Bemby. Benar-bener perasaan yang luar biasa dan sensasi yang tak terkira. Eargasme melebihi konser Morrissey di Jakarta bulan Mai 2012 silam.

CD Dara Puspita "Jang Pertama" hasil digitalisasi Lokananta
Benar-benar sungguh nikmat dan terasa melayang dari raga yang membelenggu. Teringat seorang teman di Bandung berkata "Hanya orang-orang pesakitan saja yang bener-bener bisa larut dalam alunan piringan hitam. Siang panas dikala, Lokanantan, dan hati ini menjadi saksi. Sejenak semua beban terlupa dan peduli setan dengan segalanya. Rasukan notasi sederhana dan petikan gitar Fender Jaguar benar-bener serasa secuil surga terhampar. Sebenarnya puncak dari eargasme ini terletak pada sound Dara Puspita yang Lo-Fi. Tampaknya sound yang kotor akibat debu dan kerak kotor pada plat vinyl menjadikannya kasar dan gemerisik. Akan tetapi itulah daya pikatnya. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk merekam album itu dalam bentuk digital untuk diperdengarkan dalam rumah. Sayang seribu sayang surga yang terletak pada piringan hitam tersebut tidak dapat direkam dan menang harus diperdengarkan langsung dari piringan hitam "Jang Pertama" Dara Puspita. One day, I'm gonna play it again.

Monday, 5 November 2012

Tidak Melulu "Cutting Edge" Garis Keras

Vinyl "Indonesia Raja" versi 3 Stanza produksi Lokananta
Beberapa tahun silam di kisaran celana gantung berwarna biru melekat hingga kisaran celana panjang skinny abu-abu, idealisme menjadi kunci gerak laju pengisi hari. Melawan norma, menentang dogma, meninju keras paradigma menjadi jalan hidup. Berkompromi dengan kenyataan dan berjabat tangan dengan keadaan menjadi ludah di atas makanan. Salah satunya adalah musik, tidak edggy tidak keren!

Sempat terbesit bahwa musik pop yang ada di televisi setiap paginya dan lagu kisaran cinta adalah sampah. Menyembah dan menuhankan cinta sebagai inspirasi haram hukumnya mengalun di telinga. Bahkan otak belagak naif menolak apa yang hati suka. Demi tuntutan eksistensialisme dan pengelihatan orang, mencoba menjadi jadi pribadi yang Cutting Edge. Akan tetapi cerita berkata lain dan pencarian jati diri.

Saat ini, memandang jauh kemasa remaja belasan tahun dan kemudian memakluminya. Sebuah pencarian jati diri demi pencitraan cemerlang di mata orang lain dengan berlaga memusuhi norma bersama. Asam garam belum memberikan rasa pada hidup yang masih panjang dan hambar. Bekerja dibeberapa media dan memandang realitas dengan logika memandang hidup memang terkadang perlu berkompromi. Tidak memulu musik "cutting edge" adalah yang terbaik. Terbaik untuk siapa? dirimu atau semesta?

Terkadang berkompromi dengan musik di pagi hari pun terasa sah dan termaklumi. Demi sepiring nasi yang bisa ditukarkan dengan mainstream atau idealisme dan semangat yang mati seketika tanpa cerita selanjutnya? Cutting Edge tidak hanya sekedar anti memainkan musik melankolis berdoakan cinta-cinta ataupun musik lambat yang mendayu-dayu.

Tampaknya ketidaktahuan dimasa lampau menjadikan diri ini buta dan berlagak. Saatnya membuka mata dan melihat realitas. Berkompromi bukan berarti menyerahkan segalanya dan melacurkan segalanya, akan tetapi lebih kepada mencari titik tengah kesepakatan. Berjalan selaras dengan realitas antara permintaan, ide, keyakinan, dan perasaan. Waktu dan pendewasaan membawa perubahan dan membelokan persepsi. Jikalau masih ingin menjadi aktivis "Cutting Edge" garis keras adalah mau anda maka silahkan dan jalani dengan sepenuh hati anda akan tetapi saya berbeda dan saya berjalan diantara idealisme dan realitas mulai saat ini.