Suatu siang yang sepi dan panas. Tiada aktivitas yang berarti di Lokananta yang kusam dan tampak berjalan lambat disana. Hanya suara tembang-tembang lawas yang mengisi ruang disana. Sebuah lagu hasil rekaman Lokananta dan kemudian diperdengarkan melalui ruang mastering. Sebuah ruangan yang sebenarnya cukup besar namun sesak dengan tumpukan kardus-kardus dan bongkahan piringan hitam yang tersusun. Yah, di ruangan inilah lagu-lagu Lokananta berkumpul menjadi benda yang kasat mata.
|
Produksi Lokananta |
Penuhnya jadwal kuliah dan tugas yang menjejali otak, tak mampu menyurutkan niat untuk bergerilia memutarkan piringan hitam di Lokananta. Sedari pagi kuliah dimulai sampai adzan Dzuhur berkumandang, sebuah piringan hitam yang terbungkus plastik putih tak bergeming sedikit pun. Duduk rapi disamping dan sesekali beberapa pasang mata menuju kepadanya. melirik jam tangan yang setia menemai beberapa tahun ini, pukul 12.00 WIB terpampang dilayarnya. Kuliah usai dengan menyisakan tugas yang bertumpuk dan emosi yang siap meledak.
|
Lokananta |
Saatnya memacu kuda hitam menuju Lokananta, melawati dan melawan panasnya terik matahari yang membakar. Desingan kenalpot dan asap jahat kendaraan bermotor ditabrak dengan kecepatan penuh. Sulit menahan hasrat untuk bermain-main dengan vinyl yang sudah berumur dan sedikit kusam. Tiada kuasa jiwa ini berteriak agar semua terlewati sekejap dan seketika sampai di studio yang paling tua di Indonesia. Berjabat tangan dengan Mas Bemby, penguasa ruangan mastering, dan sedikit bercerita menjadi intro sebelum akhirnya hasrat ini tertuntaskan. Seketika diraihnya piringan hitam yang sejak tadi ingin sekali dijamah dan diperlakukan sebagai mana mestinya. Diletaklah Piringan hitam tersebut disebuah alat pemutar dan jarum pemutar pun diletakkan diatas permukaanya yang hitam, sedikit berdebu, dan kusam.
"Mari-Mari" membuka salam di lagu pertama dan sound khas ala piringan hitam pun diperdengarkan. Bergelinjang resah, gejolak jiwa, serta kerongkongan yang kering sudah di ujungnya. Lagu gubahan Titiek Puspa kali ini diporak-porandakan oleh unit Rock and Roll wanita asal Surabaya, Dara Puspita. Album pertama, Jang Pertama, setelah sekian tahun akhirnya kembali bergaung di seluruh gedung Lokananta. "Minggu Yang Lalu" melanjutkan sensasi yang terbangun sejak awal Dara Puspita bernyanyi. Andai saja itu bukan ruangan kerja, mungkin dansa barbar pun telah terjadi diruangan tersebut. Track demi track pun terlewat disenandungkan sembari sesekali bertukar cerita dengan Mas Bemby. Benar-bener perasaan yang luar biasa dan sensasi yang tak terkira. Eargasme melebihi konser Morrissey di Jakarta bulan Mai 2012 silam.
|
CD Dara Puspita "Jang Pertama" hasil digitalisasi Lokananta |
Benar-benar sungguh nikmat dan terasa melayang dari raga yang membelenggu. Teringat seorang teman di Bandung berkata "Hanya orang-orang pesakitan saja yang bener-bener bisa larut dalam alunan piringan hitam. Siang panas dikala, Lokanantan, dan hati ini menjadi saksi. Sejenak semua beban terlupa dan peduli setan dengan segalanya. Rasukan notasi sederhana dan petikan gitar Fender Jaguar benar-bener serasa secuil surga terhampar. Sebenarnya puncak dari eargasme ini terletak pada sound Dara Puspita yang Lo-Fi. Tampaknya sound yang kotor akibat debu dan kerak kotor pada plat vinyl menjadikannya kasar dan gemerisik. Akan tetapi itulah daya pikatnya. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk merekam album itu dalam bentuk digital untuk diperdengarkan dalam rumah. Sayang seribu sayang surga yang terletak pada piringan hitam tersebut tidak dapat direkam dan menang harus diperdengarkan langsung dari piringan hitam "Jang Pertama" Dara Puspita. One day, I'm gonna play it again.