Tuesday, 27 December 2016

Getar Perasaan Itu Masih Ada

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjalin perasaan dalam waktu yang lama. Empat tahun dan semoga berjalan terus. Rasanya sudah jangan ditanyakan.

Jika melihat film bertemakan roman picisan, maka perasaan berbunga-bunga adalah kuncinya. Namun bagaimana jadinya jika sudah lama menjalin perasaan? Masihkah bunga-bunga bermekaran di taman itu masih menjadi idiom yang tepat?

Jawabnya tidak!

Sebuah pengalaman, meski tidak dirasakan langsung, bahwa perasaan cinta, sayang, kasih, atau apapun ingin dinamai kini tidak sekedar bunga-bunga yang bermekaran di taman.

Jika diibaratkan sebagai taman, bisa saja ada orang lain yang datang berkunjung dan merusak taman tersebut. Atau mungkin taman itu layu, tak tersiram oleh rasa dan ikatan yang terjanjikan.

Bagi yang sudah lama menjalin pertautan hati, janji ini tak sekedar sedap di pandang mata. Takala taman itu rusak, seberapa rela dan ikhlaskah hati ini untuk kembali memperbaiki dengan kembali berpeluh dan kotor. Jika taman ini layu, seberapa rendahnya untuk kembali memupuk dan memberinya asupan seperti sedia kala.

Tidak perlu munafik ada kalanya benci, marah, egois, ataupun cemburu dibuatnya. Tapi seberapa besar hati ini menerima dan kembali untuk menghidupi,

Melihat kisah perjalanan selama empat tahun ini, tak kan pernah hilang meski instagram terhapuskan. Pecahan puzzle yang tak tersusun pun tak kan pernah dapat menghapuskan indahnya bentuk jalinan kasih ini.

Sederhananya adalah, rasa syukur bahwa masih ada engkau hingga saat ini.Berdusta bisa dibilang jika kehilanganmu adalah tak mengapa.

Tak perlu hingga kehilanganmu untuk tahu betapa berharganya dirimu. Rendah dan murahnya diriku untukmu.

Melankolis, iya! Cheesy, iya! Tapi peduli setan dengan semuanya. Bahagia dan denyut itu masih ada, sedari awal di dalam sebuah mobil hingga saat ini terbentang waktu dan jarak.

Semoga akan selalu ada, dan menanti hingga kata Iya terucap di dari mulutmu.

Gusti Allah Masih Sayang

Bandung, 24 Desember 2016
Jika ada celetukan 'Hidupmu kurang piknik' mungkin ada benarnya juga. Rutinitas, tekanan, dan konsentrasi penuh membuat sering terlupa hal-hal penting lainnya.

Terkadang, atau bahkan sering jadinya, kita melupakan hal-hal penting di dalam hidup. Perlahan namun pasti, kehilangan arah dan tersesat di dalam labirin tak berujung.

Tapi Gusti Allah selalu punya caranya sendiri untuk membuat hambanya, meski bengal, untuk kembali kepada jalan yang benar. Mengembalikan kepada kodratnya, dan melanjutkan apa yang seharusnya dicapai.

Acapkali terlupa dengan segala berkah dan kenikmatan yang diberikan. Meski tak sadar, kenikmatan itu terus direngkuh tiada akhir dan berkesudahan. Gusti Allah tidak pelit dan pemarah, tetap diberikannya kepada hambanya yang meminta ataupun yang bengal.

Hanya kadang, dan seringnya, kita lalai untuk mengingatnya. Bahkan kadang, dan seringnya pula, tidak akan sadar sampai kenikmatan tersebut diambilnya lagi atau mungkin tidak pernah sadar.

Sudahkah siap untuk kehilangan? Sudahkah siap untuk tersesat di luasnya daun talas? Sudahkah siap untuk kehilangan jiwa sebagai manusia seutuhnya? Gusti Allah masih sayang.

Tuesday, 29 November 2016

Dua Tahun Perjalanan: Mulai dari Enggan Hingga Kebahagiaan

Kalau dilihat dari fotonya yah sudah tahukan saya pedagang tahu bulet.

Beberapa tahun yang lalu sempat berujar bahwa bekerja sebagai reporter berita adalah hal yang tidak diinginkan. Bagaimana tidak, tahunan hidup dengan pola kerja yang melantur dan kebebasan berkreasi membuat jiwa menjadi bosan.

Selama 7 tahun di Solo, selalu hidup di tengah malam. Takala orang-orang mendayung pulau kapuk, maka saatnya terjaga dan mengerjakan berbagai aktivitas. Di siang hari? Hanya sekolah dan tidur.

Sempat berpikir waktunya untuk berubah dan mencari kehidupan yang lebih teratur. Bangun di pagi hari, pulang kerja di sore waktu, dan tidur sebelum pukul 22.00. Hidup lebih disiplin dan kaku untuk ciptakan sebuah ritme yang teratur.

Tapi tampaknya Tuhan senang bercanda dan Maha Mengetahui apa yang hamba bengalnya sukai. Bekerja dengan kaos band, sepatu sneakers, jeans, dan no-maden menjadi karunia yang diberikan.

Setidaknya itu yang membuat hingga saat ini masih bertahan untuk bekerja di media online. Mulai dari ketidakteraturan hingga melantur, menemukan pola sendiri yang unik. Bekerja untuk hal-hal yang tidak dibenci namun juga tidak disukaui adalah karunia terbesar untuk kebebasan jiwa berteriak.

Terima kasih Gusti Allah untuk segala kesempatan, karunia, dan berkah yang tak tertandingi. Maaf jika hambamu ini masih suka bengal, lupa bersyukur, dan terkadang menjadi pongah.

Namun bagaimana dalam beberapa tahun ke depan? akankah masih menjadi wartawan atau tidak? hanya Gusti Allah yang tahu dengan yakin.