Kontan saja Youtube menelurkan talentanya dan membuat industri music nasional berguncang. Kehadiran Norman Kamaru atau yang kita kenali dengan Briptu Norman dengan video lipsingnya kembali menggugah industri music yang sedang tentram dan terasa stagnan. Sesungguhnya Briptu Norman bukanlah seorang musisi yang pandai dalam menciptakan syair-syair ataupun pengolah 7 tangga nada, ia adalah seorang anggota brimop yang terbiasa dengan olah fisik dan sejenisnya; Akan tetapi video lipsingnya mampu menyihir jutaan rakyat Indonesia dengan video simplenya. Sebelum hadirnya Briptu Norman, kita telah disuguhi dengan kehadiran 2 dara asal Bandung yakni Sinta – Jojo yang sukses melipsing salah satu lagu dangdut. Berawal dari keisengan mereka dalam membuat video dengan mengunakan fasilitas webcam, mereka berhasil mengguncang dunia musik sehingga mereka pun di kontrak banyak pihak. Sinta – Jojo lagi-lagi bukanlah musisi yang terbiasa mengolah nada-nada ataupun pencipta syair yang handal, namun mereka sukses menembus ketatnya belantika musik Indonesia. Dan sekarang yang patut di pertanyakan adalah, kenapa mereka dengan mudah bisa merebut jutaan perhatian masyarakat musik Indonesia?
Melihat fenomena macam ini saya berpikir sejenak, apakah ini bentuk dari kejenuhan masyarakat terhadap musik-musik yang disuguhkan pada layar kaca? Ketika genre melayu diberikan porsi sangat dominan seakan tak memberikan ruang kosong untuk genre lainnya di televisi kesehariannya. Hampir disetiap acara music yang hadir pada pagi hari, pasti akan ada selalu genre melayu di setiap sesinya, entah itu band-band lama yang sudah kerap aral melintang ataupun band-band baru yang mencoba menaklukan dunia musik Indonesia. Mereka bernyanyi dengan intonasi dan nada yang hampir serupa ataupun dengan gaya-gaya yang saling menyerupai. Tak ada yang salah dengan musik melayu namun porsinya yang salah. Saat ketika muncul Briptu Norman ataupun Sinta – Jojo dengan musik yang berbeda, meskipun mereka hanya lipsing, seolah-olah masyarakat melihat cahaya dalam kegelapan. Masyarakat memberikan perhatian yang lebih karena masyakat sudah jenuh dengan penampilan musik melayu yang diluar batas. Penampilan Sinta – Jojo dengan “Keong Racun” serta Biptu Norman dengan lagu Indianya seakan memberikan warna tersendiri pada padangan masyarakat. Masyarakat diberikan alternative pilihan ketika mereka sedang dalam kondisi bosan yang statis.
Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya kalau media-media mainstream di Indonesia mulai mengurangi porsi melayu di layar kaca dan memberikan tempat yang lebih banyak untuk aliran lain yang lebih beragam. Bukankah sebuah kerugian bagi media tersebut apabila masyarakat sudah jenuh dengan suatu hal dan kemudian mereka akan ditinggalkan. Hitunglah berapa banyak kerugian yang akan dihasilkan dengan kehilangan perhatian para pemirsanya. Banyak aliran lain yang selama ini kurang diberikan porsi semisal rock, jazz, punk, ataupun sub-genre musik lainnya. Tak adalahnya memberikan alternative lain kepada masyarakat agak masyarakat tak buta dan memberikan kesenangan kepada masyarakat yang tengah berada di carut marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah salah satu fungsi media adalah sebagai penghibur? Semoga Masyarakat kita kian baik dan dewasa.
Melihat fenomena macam ini saya berpikir sejenak, apakah ini bentuk dari kejenuhan masyarakat terhadap musik-musik yang disuguhkan pada layar kaca? Ketika genre melayu diberikan porsi sangat dominan seakan tak memberikan ruang kosong untuk genre lainnya di televisi kesehariannya. Hampir disetiap acara music yang hadir pada pagi hari, pasti akan ada selalu genre melayu di setiap sesinya, entah itu band-band lama yang sudah kerap aral melintang ataupun band-band baru yang mencoba menaklukan dunia musik Indonesia. Mereka bernyanyi dengan intonasi dan nada yang hampir serupa ataupun dengan gaya-gaya yang saling menyerupai. Tak ada yang salah dengan musik melayu namun porsinya yang salah. Saat ketika muncul Briptu Norman ataupun Sinta – Jojo dengan musik yang berbeda, meskipun mereka hanya lipsing, seolah-olah masyarakat melihat cahaya dalam kegelapan. Masyarakat memberikan perhatian yang lebih karena masyakat sudah jenuh dengan penampilan musik melayu yang diluar batas. Penampilan Sinta – Jojo dengan “Keong Racun” serta Biptu Norman dengan lagu Indianya seakan memberikan warna tersendiri pada padangan masyarakat. Masyarakat diberikan alternative pilihan ketika mereka sedang dalam kondisi bosan yang statis.
Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya kalau media-media mainstream di Indonesia mulai mengurangi porsi melayu di layar kaca dan memberikan tempat yang lebih banyak untuk aliran lain yang lebih beragam. Bukankah sebuah kerugian bagi media tersebut apabila masyarakat sudah jenuh dengan suatu hal dan kemudian mereka akan ditinggalkan. Hitunglah berapa banyak kerugian yang akan dihasilkan dengan kehilangan perhatian para pemirsanya. Banyak aliran lain yang selama ini kurang diberikan porsi semisal rock, jazz, punk, ataupun sub-genre musik lainnya. Tak adalahnya memberikan alternative lain kepada masyarakat agak masyarakat tak buta dan memberikan kesenangan kepada masyarakat yang tengah berada di carut marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah salah satu fungsi media adalah sebagai penghibur? Semoga Masyarakat kita kian baik dan dewasa.