Friday, 29 March 2013

“Noise, I’m In Love” Kebisingan Menembus Segalanya!

Poster Noise, I'm in Love!
Malam Jumat (28/3) yang cerah dan tenang. Kepulan asap rokok yang membumbung tinggi dibalut dengan senda gurau yang intim dan bersahaja. Wisma Seni Taman Budaya Surakarta masih dalam keadaan yang hangat dan temaram seperti biasanya. Arloji ditangan masih menunjukan pukul 19.25 WIB dan dalam beberapa jam kedepan, suasana seperti ini akan berubah drastis 180 derajat.
Adis & Nanang
Tepat pukul 19.30, “Noise, I’m In Love” dimulai dengan ocehan duo MC Adis dan Nanang. Mereka memulai acara ini dengan kelakar mereka yang renyah dan gimmick yang cukup menggundang gelak tawa. “Noise, I’m In Love” merupakan gigs pertama diawal tahun 2013 di Kota Solo yang diprakasi oleh Dean Street Billy’s berkolaborasi dengan UKM Band ISI Surakarta. Gigs kali ini menampilkan sebuah pertunjukan musik yang sederhana, menembus norma dan dogma musik yang ada. Tak perlu panjang lebar setelah membacakan sponsor malam ini, Morphe Memory dipersilahkan mengambil alih acara malam ini.
Morphe Memory
Sekilas band ini tampak biasa dan normal. Beranggotakan 3 orang dengan peralatan band yang normal. Perlahan drum mulai diketuk membuat ritme untuk kali ini, line bass tipis mengisi kekosongan menjaga nada rendah. Mengalun dengan perlahan dan tenang. Sekilas saya berpikir bahwa ini adalah Blues dengan melodi gitar yang bersih tanpa distorsi. Akan tetapi semua itu adalah tipu daya dan ini adalah “Noise, I’m In Love”. Nanang, gitaris Psikotropika sekaligus MC, mulai memperkosa gitarnya. Mulai dari menyegamakan gitarnya dengan amplifire, dan kemudian menghancurkan konfigurasi efek gitarnya. Raungan gitar dan noise yang dihasilkan efek berhasil mencabik suasana tenang malam itu. Liar dan beringas. Sayang penampilan mereka tidak disaksikan oleh banyak orang, pengunjung mulai berhamburan takala Morphe Memory usai mengandaskan ketenangan malam itu. Tampaknya penonton yang baru datang tadi kehilangan salah satu moment terbaik di “Noise, I’m In Love”.
Psikotropika
Selanjutnya Psikotropika melanjutkan dengan kebisingannya. Bermodal dari selongsong bambu yang disambungan dengan pedal efek gitar dan kemudian dikawinkan dengan alat bor, maka lahirnya ambient suara yang tringinas. Melengking menyentuh nada-nada atas, membius menembus gendang telinga. Inilah duo bising yang paling dinanti selain headliner acara kali ini. Konon katanya, projek “Bambu Bising” ini merupakan projek lama yang terhenti beberapa tahun silam. Sebuah tragedi menghempaskan Morphe Memory, namun di “Noise, I’m In Love” projek ini kembali dipertunjukan. Usai Morphe Memory, yang tersisa hanyalah tepuk tangan penonton serta dengungan panjang di dalam tempurung kepala.
Minox "Carment"
Aksi bising kedua grup tadi, dinetralisir oleh Carment yang didaulat menjadi pengisi acara yang ketiga. Masih dengan formasi yang lama, dan tampaknya Carment memang selalu ditunggu oleh jamaah cutting edge Kota Solo. Terbukti penampilan mereka berhasil membuat penonton yang sedari duduk manis sembari bertegur sapa dengan teman-teman merapat ke depan panggung. Penonton dengan hikmat menyanyikan bait demi bait yang dilantunkan oleh Wisnu sang pendoa dibalik mic. Check sound yang kilat serta peralatan yang terbilang minim tak menghalangi untuk menghasilkan sound yang cukup enak didengarkan. Tak salah jikalau band-band di Kota Solo menggangap Carment adalah band yang memiliki sound terbersih dan “terempuk” di telinga. Hanya di saat Carment bermain, beberapa wanita ekspatriat yang hadir di malam itu mengibaskan rambutnya dan berjoget menikmati musik Indie-rock yang disuguhkan. Apakah Carment idola wanita bule masa kini?

Trouble yang cukup lama cukup menghambat penampil keempat untuk unjuk meramu kebisingan yang dia punya. Smith alias Matikau adalah seorang Indonesia asli yang siap mengaduk-aduk suasana malam itu. Tampaknya malam Jumat memanggil dirinya adalah moment yang sangat pas dan mencengangkan. Seketika lampu dimatikan, dan kemudian lantunan narasi layaknya keadaan di alam kubur mulai berkumandang lengkap dengan backsound gemuh kilat yang menggelegar. Jeritan siksa dan isak tangin kepedihan menjadi senjata utama kebisingan Matikau. Efek-efek gitar yang disusun mulai diperkosa untuk menghasilkan bising dan dengungan tajam memekakan telinga. Sebuah jenis pertunjukan yang baru dimana sebuah fenomena alam kubur yang kemudian dirubah menjadi sebuah pertunjukan musik. Bergidik bulu kuduk dikala itu. Matikau sesangar namanya, dan musiknya cukup membuat yang hadir dikala itu ingat dengan akhirat walau sejenak.
The Sablenk
 Institut Seni Indonesia memang gudangnya para seniman. Jikalau anda tidak cukup gila, maka anda belum sampai pada tahapan seniman. Hal itu yang ditampilkan oleh The Sablenk. Seperti namanya The Sablenk yang berarti gila, ketika pemuda mahasiswa ISI Surakarta pun menunjukan kegilaan mereka dalam mercik musik. Panci masak yang biasanya dipakai untuk menggoreng, kini dikawinkan dengan efek gitar dan dimasukan kedalam amplifire. Akan tetapi kegilaan mereka belum berhenti sampai disana, The Sablenk berhasil menciptakan alat musik mereka sendiri dan diberi nama “Senar Mubeng”. Adis menceritakan bahwa The Sablenk mengusung genre Noise/Contemporer. Nada-nada suling yang dimainkan menjadi nada dasar The Sablenk, dan Bebunyian sedari panci dan Senar Mubeng menjadi pelengkap noise alunan mereka. Perlahan mereka bermain dengan alunan yang lambat dan seketika menukik dengan alunan yang cepat, notasi itu terjadi berulang kali. Standing Ovation dan riuh penonton menyambut kesudahan aksi gila The Sablenk.

Seniman lokal dalam negeri usai sudah unjuk gigi, kini giliran musisi luar yang pamer keberisikan mereka. Matt Shoemaker, ekspatriat asal USA, dipersilahkan untuk menunjukan kemampuannya. Waktu yang cukup lama diperlukan untuk mengeset alat. Sekitar 10 menit lebih Matt berkutak atik dengan alat-alat bikininannya sendiri. Dia menggunakan tangga, gelang spiral, radio bekas, efek gitar, serta beberapa sensor cahaya untuk menghasilkan alunan musik jiwanya. Menurut selentingan bisik yang terdengar, Matt menghasilkan suara dari gelombang rambat yang dihasilkan oleh gelang spiralnya yang kemudian diolah. Lagi-lagi bebunyian nada tinggi merusak suasana tenang malam itu. Beberapa orang yang hadir dikala itu tertegun dengan seksama menyaksikan penampilan Matt yang ekspesif. Beberapa kali Matt menunjukan guratan wajah yang serius dengan guratan didahinya. Tampak Matt menikmati suara-suara yang melenting yang masuk ke dalam telinganya. Keyakinan itulah yang Matt tunjukan terhadap musikalitas yang dimilikinya. Semua terhenyak, memejamkan mata dan seolah menikmati apa yang disajikan Matt.
Nikola Mounoud
Pukul 22.00 WIB, dan puncak acara sudah akan dimulai. Nikola Mounoud, noise artis asal Swiss, bersiap pamer musikalitasnya. Dia penampil paling sederhana dengan laptop dan mixer 4 channelnya. Mixer ini langsung dicolok ke 4 sound system yang tersedia malam itu. Meski gear yang digunakannya terhitung minim dan sederhana, namun tenaga yang dihasilkan tidak seminim apa yang dia gunakan. Terbukti sound yang dihasilkan sangat bertenaga dan terasa lebih berat ketibang para penampil sebelumnya. Dia menggunakan feed-back yang ada pada sound system dan kemudian diolah melalui software hasil rancangannya sendiri. Nikola membuat sebuah software untuk mengolah feed-back selama lima tahun dan diberi nama MSP. Penampilan Nikola sangat mengundang rasa penasaran penonton untuk mendekati dan melihat bagaimana dia mengolah semua feed-back yang ada. Decak kagum serta teriakan kegilaan penonton membuat Nikola semakin bersemangat dan kian panas untuk mengutak atik softwarenya. 30 menit sudah kebisisngan memenuhi malam dan mendadak Nikola menutup laptopnya sembari membalikan meja yang ada dihadapannya. Sebuah laptop, mixer, dan smartphone bergeletakan dilantai seketika. Nikola ambruk sembari berkata “Enough, I’m drink to high”. Tampaknya Nikola benar-benar menikmati penampilannya di Kota Solo dan tendensi minuman khas Kota Solo mengantarkan orgasme musikalitasnya. “Noise, I’m In Love” usai dan semua kembali tenang seketika.

“Noise, I’m In Love” bisa dibilang bukan gigs yang lazim seperti biasanya. Kali ini “Noise, I’m In Love” menyuguhkan musikalitas yang bener-bener menembus batas-batas norma dan kaidah dalam bermusik. Hampir bisa dibilang 7 tangga nada yang menjadi pakem bermusik selama ini tidak digunakan. Selama semua itu bisa menghasilkan bebunyian maka lanjutkan terus musikmu. Tiada pakem dalam musik ini, semua hanyut dalam dunia individu. Mengutip perkataan nanang “musik noise itu adalah dikala kamu tidak bisa bermain alat musik tapi kamu ingin bermusik, maka itu adalah musik noise”.
Penonton Noise I'm in Love
 Selain menembus kaedah bermusik, acara “Noise, I’m In Love” pun menembus antar bangsa. Terbukti baik orang lokal maupun warga negara asing yang hadir dikala itu membaur dan bercengkrama satu dengan lainnya. Tiada sekat kecanggungan miss communication terjadi diantara mereka. Mereka semua berbicara atas bahasa yang sama dan atas intuisi tertajam mereka semua, musik! Gelak tawa, sorak gembira, teriakan kesenangan, sampai obrolan renyak tersaji malam itu, di Malam Jumat yang dingin namun cerah. Semua orang bersuka cita, menyambut keriaan malam itu. Bagi banyak orang kebisingan adalah pengganggu yang menyebalkan, namun lain hal bagi segelintir orang dengan kebisingan mereka bersatu dan bersuka cita bersama. Kebisingan Menembus Segalanya!
*Tulisan ini dimuat oleh Dean Street Billy's dan Gigsplay

Tuesday, 19 March 2013

Bekasi Festival Indie Moment 2013: Saatnya Yang Muda Menyelamatkan Musik Indonesia


Burgerkill at Backfest 2013
Menyeragamnya musik dikalangan anak muda Indonesia, menggugah sebagian komunitas musik di Bekasi untuk membuat sebuah acara musik yang tidak seragam.  Setidaknya hal tersebut yang dihadirkan oleh Bekasi Festival Indie Moment (Backfest) 2013 yang di gelar di parkiran rooftop Bekasi Square (17/3). Acara yang berlangsung sedari jam 4 sore hingga 11 malam ini sukses melarutkan rasa 3.000 penonton.

Backfest 2013 kali ini sukses memboyong berbagai musisi TOP tanah air untuk tampil beringas di panggung yang cukup megah, sebut saja Speak Up, Rajasinga, Morfem, The Sigit, Seringai, Burgerkill, dll. Nama besar line up yang dihadirkan cukup membuat para penonton bergidik untuk menonton dan menjadi jaminan mutu yang hadir di malam kemarin. Perasaan senang terlukis dari raut wajah musisi yang mengisi panggung serta pengunjung yang datang.

"Gak percuma bayar Rp. 35.000,- kalo yang main seperti ini, puas!" seloroh Meity Fauziah (24) salah seorang pengunjung Backfest 2013.

Menurut Meity, acara kali ini cukup menyenangkan karena band pengisi acara sangat keren, dan ditunjang dengan sound system yang cukup kencang. Terlebih penampilan Burgerkill yang ia tunggu tampil trengginas membawakan hits mereka. Wanita penggemar Metallica ini berseloroh bahwa acara musik seperti ini harus sering diadakan supaya anak muda masa kini tidak mendengarkan musik yang

 Backfest 2013 pun menjadi special di malam itu karena The Sigit membawakan lagu terbarunya untuk pertama kali "Son of Sam" yang akan berada di album terbaru mereka "detourn". Menutup acara kali ini, pesta kembang api ditabuhkan sesaat Burgerkill yang menjadi closing band usai membawakan "Atur Aku". Bisa dibilang Backfest 2013 sukses menyelamatkan generasi muda Indonesia malam itu.

*Tulisan ini dimuat juga di Depanmonitor

Sunday, 10 March 2013

Pandai Besi Rekaman di Lokananta Hari Pertama


Pertama dalam seumur hidup memberikan testimoni untuk band kenamaan ibukota dan diupload secara resmi oleh mereka. Thanks Efek Rumah kaca! It's so surprising me.

Mimpi Mulai Datang Perlahan

Tiada yang menyangka dengan 7 tahun silam. Seorang anak remaja tanggung yang baru saja menginjak masa Putih Abu-Abu, hanya kosong dan kelam. Duduk manis di rumah memandang segala sesuatunya hanya melalui cerita. Mendengar, mendengar, dan mendengar. Ekspesi yang datar serta mimpi hanya bisa dimasukan kedalam sebuah kaleng kosong. Bakat? tiada bakat yang dipunyai oleh remaja ini. Menggambar? cuma sebatas pemandangan anak SD, Menyanyi? ia adalah penyanyi kamar mandi, kemampuan berbahasa? tutur katanya majemuk bertingkat-tingkat, ataupun kecerdasan otak? sudahlah hanya rapot yang menjawab hal tersebut.

Setiap hari hanya memandang takjub orang lain. Mereka bercerita dengan gagahnya, berekspresi dengan liarnya, serta rasa hormat yang mendalam yang mereka terima. Bagi anak kecil rumahan yang tingkah dan terbatas dengan segala hal. Batasan memang selalu ada dan demikian absurd untuk diceritakan pada masa itu.

Waktu perlahan berjalan dan tidak pernah mundur, entah apa yang telah digariskan oleh SANG KUASA memberikan ceritanya sendiri. Detik demi detik yang disyukuri memberikan nikmatnya sendiri. Lambat laun ada sebuah alur untuk mendapatkan itu semua. Mimpi-mimpi yang terdahulu berada di dalam kaleng kosong yang dingin mulai dikeluarkan dan membuat keajaiban. Memberikan warna dan goretan cerita di dalam ketas kosong untuk diceritakan.

Dahulu bermimpi untuk menjadi musisi yang memiliki musik sendiri dan bergaya diatas panggung, namun siapa kita saat ini pun tetap tidak menjadi musisi dan sudahlah itu berlalu. Akan tetapi berdiri dan bergaya diatas panggung? sudah cukup pernah merasakan.

Bertemu dengan orang-orang yang hanya berdiri jauh di depan sana dan hendak digapai oleh ratusan orang lainnya. Kini mereka berada disebalah dan saling berbagi cerita. Bercengkrama, dan bahkan kompilasi.
Pembuatan Dokumentasi Foto Efek Rumah Kaca Live In Lokananta
Dahulu hanya bisa memandang takjub atas karya orang lain, kini perlahan mulai membuat karya sendiri dan orang lain mulai memberikan atensi mereka atas keringat tangan yang bercucuran. Mereka berkomentar dan memberitakan itu kepada teman pencerita mereka. Menjadi buah bibir, pro maupun kontra, dikalangan. Apresiasi yang terjadi memberikan pencerahan.

Mimpi-mimpi yang mulai berdatangan dan tergapai, kini mendatangkan kembali mimpi. Semua kembali bisa digoreskan dan semua hanya berasal dari mimpi. Bermimpilah dan kemudian bangun dari tidurmu. Lanjutkan mimpimu di alam nyata.

Thursday, 7 March 2013

Musium Affandi: Artefak Seni Yang Terjaga Semestinya

Berawal dari sebuah ide dadakan dan tidak terencanakan dengan terlalu lama, mendadak spontan ketika bingung didalam mobil. Tercerus sebuah destinasi dengan yakin dan tegas Musium Affandi. Mendengar namanya saja, orang awam akan tahu bahwa Affandi adalah ahli seni potraitur kenamaan Indonesia. Harum namanya tidak hanya di Indonesia semata, namun menembus batas global. Salah satu pahlawan Indonesia dibidang seni kontemporer.
Lukisan Affandi
 Ketika masuk kedalamnya, akan terasa aura magis seni yang terpancarkan dengan hangat. Orang awam yang tidak mengerti seni pun mendadak akan mendapatkan sebuah pencerahan dan pembelajaran penting tengan pahlawan kenamaan ini. Beliau mengabadikan seluruh hidupnya untuk seni, dan matinya pun untuk seni. Jenis dan tidak terbantahkan. Jejeran lukisan absurd landscape hingga potret narsis wajahnya sendiri tertata dengan indah, apik, dan jelas terawat. Ketika anda masuk kedalamnya, tiket seharga Rp. 20.000,- menjadi sebanding dengan apa yang anda dapatkan. Seni yang berbalut dengan pendidikan sejarah pun terpaparkan dengan apik dan menyenangkan ditempat ini. Selain itu, posisinya yang terletak ditengah kota sangat mudah untuk menjangkaunya.
Patung Wajah Affandi dan Kartika
Musium Affandi, menyimpan berbagai jenis seni karya seniman kebanggan bangsa ini. Terjaga dengan baik dan sangat menyenangkan didalamnya. Ruangan yang nyaman pun dipancarkan, tidak seperti musium pada umumnya yang lembab dan apek. Tidak banyak musim seni Indonesia yang terjaga dengan baik, seperti halnya Lokananta. Berbagai artefak seni musik berada disana dan tergeletak tidak terawat disana. Menyedihkan. Semoga segera musium di Indonesia dibuat lebih nyaman dan semua barang didalamnya terjaga dengan baik.
Poster kurasi seni di Jakarta mengenai karya Affandi
Buku daftar hadir tamu serta kesan pesan pengunjung