Wednesday, 16 May 2012

Morrissey Live in Jakarta: Menuju Ibukota Untuk Sebuah Perjalanan Spiritual

Terbangun di pagi yang cerah dan sinar mentari yang menguning. Udara segar masih terasa nikmat menembus relung paru-paru. Jam dinding menunjukan pukul 05.30 di tanggal 10 Mei 2012. Suasana nikmat dan menyenangkan di pagi hari tak selaras dengan gejolak jiwa yang membakar sanubari. Hari ini merupakan sebuah hari spesial bagi kaum indies, para pemuja musik underground, karena tepat pada pukul 21.00 nanti mereka akan bertemu dengan pujaan mereka semua Steven Patrick Morrissey.

Beranjak dari ranjang dengan perasaan was-was, gundah, grogi namun berlandaskan sebuah kesenangan memikirkan bagaimana dengan perjalanan antara Solo-Jakarta. Mungkin perjalanan menuju ibukota merupakan sebuah perjalanan yang biasa namun momentnya yang khusus membuat perjalanan ini tidak biasa. Terlebih dengan serangkaian acara sebelum menuju Tenis Indor (Tendor) Senayan Jakarta, venue dari acara Morrissey Live in Jakarta.

Bergegas badan ini menuju kamar mandi. Membersihkan badan ini dan membuat perasaan sedikit optimis untuk memulai sebuah perjalanan panjang menuju ibukota. Usai mandi pagi dan berpakaian, sebuah ritual pagi yakni sarapan tak selayaknya terlupakan. Menyantap panganan sebagai energi untuk menerjang hari ini Sebuah modal utama untuk memulai semuanya.

Pukul 07.00 semua sudah siap dan bersiap untuk menuju pemberhentian pertama yakni kampus UNS. Acara pertama untuk hari ini adalah ujian Ilmu Alam Dasar. Semalam sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam pribadi dan berisikan pengumuman bahwasanya matakuliah Ilmu Alam Dasar akan ada Quiz pukul delapan tepat. Sebuah ujian singkat sebelum menuju peribadatan indies di Jakarta. Menunggu sejenak menanti kawan saya Johan Adi datang menjemput. Pada akhirnya yang dinanti datang pada pukul 07.30 dengan mengendarai sepeda motornya yang berwarna putih dan bersuara menggelegar.
Ayo mangkat saiki (Ayo berangkat sekarang),” Pungkas Johan di awal kedatangannya.

Tak banyak percakapan yang terlontar selama perjalanan. Menikmati perjalanan di pagi hari, berpacu dengan para pekerja kantoran yang tampaknya hampir telat. Melesat menembus jalan-jalan sempit untuk segera bergegas sampai kampus agar tidak terlambat. Pada akhirnya sampailah di kampus FISIP UNS tepat waktunya dan tidak terlambat. Akan tetapi jikalau minggu kemarin Johan terlambat masuk kelas, maka dipertemuan kali ini maka pengawas quiz-nya yang terlambat untuk masuk kelas. Entah berantah kemana gerangan pengawas quiz kali ini, dan 30 menit kemudian mereka barulah sampai dikelas.

Lembar soal dibagikan dan terdapat 10 soal yang harus dijawab. Tak cukup sulit untuk menjawab soal-soal tersebut karena semua pertanyaan tersebut ada di dalam buku yang saya bawa. Dengan segera dan penuh keyakinan terjawab soal tersebut satu persatu. Selesailah soal tersebut dan sedikit kelegaan mulai tersemai di hati, satu acara telah terlalui. Melirik kepada jam tangan yang melingkar di tangan kanan, jarum jam menunjukan pada 9 tepat. Berarti sebuah pertanda bahwa ini saatnya berburu waktu menuju bandara Adi Sumarmo.
Sido mangkat jam piro (jadi berangkat jam berapa)?” demikian pertanyaan dari Ryan Gaza, seorang teman yang bersedia mengantarkan saya ke bandara.

Akhirnya setelah segala persiapan usai dan membeli sebuah air mineral, berangkatlah menuju bandara. Mengendarai kuda besi model sport kepuanyaan Ryan Gaza, menerobos jalanan yang berdebu dan terik matahari. Membelah jalanan serta daerah persawahan dengan mantap melaju. Berkelit dari satu jalan kecil menuju jalanan kecil, dari satu desa melewati desa lain. Sepenjangan perjalanan, tak banyak hal yang dilakukan selain memandang daerah persawahan yang mulai menguning, pemandangan gunung merapi, serta gumpalan awan yang membumbung di angkasa.
   
30 menit perjalanan namun sebuah suguhan atas karya lukisan tuhan tak dapat dielakan keindahannya. Sesampainya di bandara dan megucapkan terima kasih atas tumpangannya kepada Ryan Gaza, bergegaslah menuju counter check-in tiket. Tak disangka dan tanpa pemberitahuan sebelumnya, ternyata pesawat yang akan saya tumpangi menuju Jakarta mengalami keterlambatan hingga pukul 14.20. Tampaknya untuk menghadapi ketepatan waktu di Indonesia memerlukan kesabaran yang ekstra.

Hampir 5 jam menunggu setia keberangkatan pesawat menuju Jakarta. Tak banyak hal yang saya bisa dilakukan namun sudah diantisipasi keadaan saat ini. Sebuah buku Heavier Than Heaven biografi Kurt Cobain, lagu-lagu dari Morrissey melantun di telinga sebagai pemanasan, serta sebotol air mineral mencoba membunuh waktu.

Akhirnya yang ditunggu tiba, saatnya memasuki pesawat dan berjalan menyusuri lorong mencari seat 19D. Meletakan tas ransel semata wayang di bagasi atas kepala, dan lantas menghempaskan badan di kursi. Perlahan tapi pasti dan tanpa terasa mata ini mulai terpejam hingga akhirnya terlelap sepanjang penerbangan.
“Mas bangun mas, sudah sampai di Jakarta,” ucapan dari pramugari yang berusaha membangunkan saya sedari tidur yang lelap, sembari tepukan halus mendarat di pundak kiri.

50 menit perjalanan sudah dan jam di tangan menunjukan pukul 15.30 kurang. Turun sedari pesawat dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka mengilangkan kantuk. Membasuh muka dan sekalian berkaca. Menatap wajah sendiri dan menerawang jauh keacara nanti malam, seperti apa sekiranya akan terjadi. Apakah lagu Alma Matters, The Charming Man, There is a light That Never Goes Out, serta I’ll Never Be Anybody’s Hero Now akan dibawakan? Segera melayang jauh imajinasi tersebut dan kembali ke realita bahwa saat ini masih berdiam diri mematung menghadap cermin di toilet bandara.

Segera menyadarkan diri dari lamunan sejenak dan menghapus bulir-bulir air di wajah dengan handuk kecil yang selalu tersedia di tas ransel. Teringat bahwa hp yang belum dihidupkan dan berharap saudara yang akan menjemput sudah sampai di bandara. Seketika masuk beberapa pesan singkat masuk dan menanyakan keberadaan.
Udah sampe Jakarta belum? Ogut udah di bandara tapi masih di terminal 3,” demikian pesan singkat dari bibi yang akan menjemput.

Ogut baru sampe dan udah di bandara 1A. Buruan yak!” Balasku singkat

Yoi, tunggu saja.” Balasnya beberapa saat.

Udara panas, desingan kenalpot, suara klason, hiruk pikuk gerombolan manusia menjadi salam pembuka yang manis tak kala kaki menjejakan keluar bandara. Sebuah daya tarik sendiri dari kampung halamanku yang tak pernah sepi. Segera mencari posisi yang pas untuk menunggu jemputan saudara. Diam berdiri untuk waktu yang cukup lama, dan terkadang taksi gelap pun menghampiri menawarkan jasanya. Berkali-kali menolak dan berkali-kali juga mereka datang menghampiri dan menawarkan. Hingga akhirnya sebuah minibus berwana hitam datang menghampiri dan sepupu saya melambaikan tangannya dari dalam mobil.

Segera saya menyalami bibi, paman, serta sepupu saya yang masih berumur 3 tahun. Tampak Launa, demikian nama sepupu kecil saya, kian besar dan kian aktif namun tetap dengan senyumnya yang khas polos dan membahagiakan. Meski jalanan keluar bandara sudah dihadang dengan macetnya ibukota dan suara klakson yang bertubi-tubi, namun hal tersebut tidak mengganggu kenikmatan saya dalam mengawasi tingkah laku Launa. Memperhatikan anak kecil yang masih polos dan bergerak bebas melawan kerasnya dunia merupakan sebuah inspirasi tersendiri agar tidak menyerah dengan hidup ini.
Kawasan Semanggi - Jakarta
Beberapa pertanyaan kabar dari paman dan bibi mulai terlontar, menanyakan kabar keluarga di Solo, perihal kuliah, sampai pasangan hidup semua ditanyakan. Layaknya sebuah introgasi di kantor polisi namun dengan suasana yang penuh dengan guyon dan cair. Gelak tawa sering membahana mengisi perjalanan menikmati macet melalui gurauan yang terlontar. Dan tak terasa mobil yang melaju meter demi meter ini sudah mencapai Kawasan Semanggi. Sebuah kawasan yang menjadi salah satu sendi detak hidup hiruk pikuk Jakarta. Segera saya berpamitan kepada paman, bibi, dan Launa untuk turun dan melanjutkan perjalanan dengan Trans Jakarta menuju Tendor Senayan.
Jamaah Mozz dan Calo Tiket Bertebaran
Mulai pukul 18.00 WIB, para jamaah sudah mulai memadati Tendor Senayan. Berbagai atribut dikenakan dan melekat era ditubuh mereka untuk menunjukan bahwasanya mereka adalah para pemuja Mozz. Kaos, jaket, atau bahkan tote bag yang memasang wajah Mozz atau yang berkaitan dengan The Smith. Tak hanya yang mengenakan atribut Morrissey; bahkan para jamaah yang baru pulang dari kantor pun membaur, lengkap dengan kemeja kerja, celana bahan, serta sepatu kerja masih melekat ditubuh mereka. Sungguh terasa akrab dan intim mulai terbangun disini. Konser Mozz yang untuk pertama kali ini terasa layaknya sebuah gigs underground, suasana yang cair, semua orang saling menyapa satu dengan yang lain, serta sebuah perasaan yang sama mempertemukan kita semua disini.
Karpetnya Masih Baru
Foto Sesi dengan Jamaah Mozz
Tanda Jamaah Mozz
Usai melaksanakan ibadah magrib, maka saatnya beranjak menuju areal konser. Ternyata kondisi di dalam areal konser lebih ramai ketimbang di luar. Ketika di luar antara jamaah dan calo membaur serta meramaikan areal parkir dan tiket box, maka di dalam semuanya adalah para jamaah Mozz. Areal yang terbilang cukup kecil itu selain berserakan para jamaah Mozz dari berbagai daerah, terdapat pula tenda-tenda yang berdiri berisikan aneka panganan dan berbagai macam merchandise Mozz. Akan tetapi dari sekian banyak aneka panganan yang dijajakan, terselip sebuah panganan yang cukup klasik dan menggugah yakni Pecel Madiun. Teringat sejenak bahwa Mozz adalah seorang vegetarian dan sangat membenci daging sebagai panganan. Apakah Pecel madiun ini termasuk permintaan dari Mozz?

18.45 sudah saatnya untuk masuk kedalam venue. Open gate akan dibuka pukul 19.00. Mengingat bahwa fans Mozz adalah yang tergila maka saatnya berbaris untuk mengantri masuk venue. Semakin cepat masuk venue, maka semakin leluasa untuk memilih tempat untuk menyaksikannya. Sepersekian detik sempat gerimis melanda antrian untuk masuk venue namun tampaknya Tuhan sangat mengerti dan perlahan gerimis itu sirnah. 19.15 satu per satu penonton mulai masuk kedalam venue dan tak butuh waktu yang cukup lama untuk masuk kedalam venue.

Tendor begitu dingin dan terasa lenggang namun nanti semua itu akan berubah. Perlahan venue yang sepi dan terasa dingin perlahan menjadi hangat dan penuh sesak. Para Jamaah mulai memasuki venue perlahan dan mengambil posisi terbaik yang bisa mereka capai. Menyelaraskan tubuh dan jiwa untuk menghadapi sebuah serangan testosteron kepada semua pemirsa. Menanti dengan tidak sabar dan mulai berteriak memanggil-manggil Morrissey.
Penampilan Awal Mozz
Pukul 21.00 tepat, tirai putih yang menutupi panggung mulai dilepaskan dan Mozz melangkah dengan tenang sembari iringan riuh menyambut panutan mereka. Perlahan dan dengan sopan, Mozz mengucapkan “Selamat malam Jakarta” dan lagu “How Soon is Now” dimainkan. Seketika Tendor pecah akan crowd jamaah dan koor masal langsung berkumandang. Energi penantian belasan tahun langsung terkeluarkan dengan seksama dan benar-benar menutupi dinginnya Tendor malam tersebut. Semua berteriak, loncat, serta mengangkat tangan mereka untuk menyambut setiap gesture yang Mozz berikan.

Dan tampaknya Mozz mengerti benar akan kemauan para penggemarnya yang telah lama rindu akan kehadirannya, Dalam konser ini Mozz tidak banyak berbicara dan lebih banyak berkonsentrasi memainkan lagunya. Hampir disetiap akhir lagu Mozz, hanya mengucapkan terima kasih sembari membungkukan badan dan kemudian pergi mengambil minum sejenak, lantas kembali menggeber penonton yang sedang mabuk akan serangan kharismatik Mozz.
Mozz Bertelanjang Dada dan Jamaah Berteriak Histeris
Namun minimnya interaksi dengan penonton bukan berarti Mozz tidak menyapa ataupun sesekali bersenda gurau dengan para penggemarnya. Di lagu “First of the Gang to Die” sempat membuat penonton benar-benar kerasukan, dan seorang penonton meloncati barikade dan berusaha untuk menggapai panggung untuk bersalaman dengan Mozz. Sang penonton sudah ditangkap oleh Bodyguard yang sudah siaga menjaga, namun Mozz mengulurkan tangannya dan membiarkan sang penonton yang heroik tersebut untuk naik panggung. Kontan saja penonton itu memberikan setangkai bunga dan memeluk Mozz dengan erat. Tak hanya itu saja, bahkan beberapa kali Mozz menarik para penggemarnya yang berusaha menggapai panggung dan membiarkan dirinya dipeluk dengan erat.

Hampir disetiap lagu yang dimainkan oleh Mozz membuat para jamaah keblingsatan dan larut dalam fantasi yang mereka ciptakan sendiri. “You Have Killed Me”, “You're The One For Me, Fatty”, “Alma Matters”, “Let Me Kiss You”, “Everyday is Like Sunday” dan banyak lagi lagu lainnya sukses membuat para jamaah multi-orgasme. Penampilan selama 1,5 jam benar-benar menguras energi dan emosi seluruh jamaah tak terkecuali. Sebagai penutup, Mozz membawakan “Still Ill” yang merupakan lagu dari The Smith.
Say goodbye, Mozz!
Usai sudah hal-hal yang sudah ditunggu dan akhirnya kini terbayar lunas sudah. Meski beberapa lagu jagoan saya tidak diputarkan namun konser tersebut sukses membuat seluruh penonton, termasuk saya, terpuaskan. Rona-rona puas terlihat dari guratan-guratan para penonton yang keluar dari Tendor. Pukul sudah menujukan 23.00 dan maka saatnya menuju rumah. Berjalan perlahan dan lantunan suara Mozz masih terasa di telinga. Hingga akhirnya taksi berhenti tepat di hadapan dan meluncur deras membelah ibukota dini hari menuju Manggarai dan diringi lagu-lagu dari Julio Iglesias mengalun dari tape deck taksi . Sebuah Perjalanan spiritual yang luar biasa bagi saya pribadi dan para jamaah Mozz lainnya.

Morrissey dan Karismanya

Steven Patrick Morrissey (53) akhirnya menuntaskan dahaga para penggemar Brithpop, sub-genre musik pop, di Indonesia. Kedatangannya sudah di tunggu puluhan tahun dan tak ada yang dapat menyangkal aura karismanya. Bahkan saking besarnya karismanya sang legenda, tak sedikit pula para lelaki yang jatuh cinta terhadap dirinya. Menggapainya dan atau sekedar bersalaman dengan Mozz merupakan sebuah anugrah pagi para penggemarnya.

Mantan vokalis dari band legendaries The Smith ini pun tak hanya memiliki fans dari para penggemar musik pop, namun para penikmat musik punk, hardcore, atau bahkan metal banyak yang menjadi penggemarnya Mozz. Musiknya yang melodius, suaranya yang mencerminkan kemaskulinan, serta lirik ciptaanya yang indah membuat Morrissey kian digilai. Tak hayal Mozz menjadi inspirasi berbagai band di seluruh dunia. Bahkan majalah NME pun menyebut sang biduan yang juga seorang vegetarian ini adalah salah satu musisi paling berpengaruh di dunia.

Perkenalan saya dengan lagu-lagu Morrissey dimulai sedari masa remaja di era 2000 awal. Dikala era-era sisa kejayaan musik brithpop dan banyak sekali band-band yang mengaku terinspirasi oleh Morrissey dan The Smith. Salah seorang teman saya meminjamkan sebuah kaset The Smith “The Queen is Dead” dan lagu pertama yang saya dengar adalah "There is a Light That Never Goes Out". Ketika era cinta monyet sedang menggelora dan mengisi jiwa-jiwa asmara remaja, lirik lagu tersebut cukup membius untuk ditelaah.
“And if a double-decker bus
Crashes into us
To die by your side
Is such a heavenly way to die
And if a ten-ton truck
Kills the both of us
To die by your side
Well, the pleasure - the privilege is mine”

Semejak peminjaman kaset tersebut hingga kini, saya menjadi penggemar Steven Patrick Morrissey. Suaranya yang sangat maskulin, gayanya yang flamboyan, lirik lagu-lagunya yang mengiris-iris jiwa, serta aura maskulinnya membuat saya jatuh cinta terhadap dirinya. Mungkin orang awan akan bilang hal tersebut layaknya homo namun bagi yang mengetahui Mozz, hal tersebut adalah lumrah dan sudah biasa.

No comments:

Post a Comment