Tuesday, 17 December 2013

Haruskah Kita Merasa Puas?

Teringat dengan perbincangan singkat dengan Yudita Trisnanda beberapa hari silam. Layaknya komentator, bahasan tentang gaya hidup mahasiswa masa kini yang beraneka ragam terlontar ekspresif. Mulai dari yang luar biasa mengagumkan hingga luar biasa mengundang helaan nafas. Meski singkat namun berjuta makna yang bisa diangkat untuk diambil hikmahnya. Salah satu hikmah yang bisa diambil adalah perihal kepuasan.
Salah satu hal yang bikin gw gak pernah puas sih yah koleksi apa yang gw pegang.
Kembali teringat dengan sebuah celetukan "Namanya juga manusia, gak pernah puas!" yang cukup akrab di telinga. Secara ilmiah hal tersebut ada benarnya. Terbukti Abraham Maslow membuat teori Hierarki Kebutuhan. Teori ini muncul karena Maslow sendiri memiliki latar belakang sebagai Psikolog Humanistik, dimana dia percaya bahwa manusia berusaha untuk mencapai kemampuan terbaiknya. Sehingga manusia akan terus dan terus menggali potensi dalam dirinya.

Tidak pernah merasa puas tentu menjadi sebuah sifat yang cukup baik. Sebuah bentuk kritis terhadap hal-hal yang ada disekitarnya. Tentu saja diperbolehkan untuk tidak merasa puas dan terus menerus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik. Layaknya seorang karyawan yang tidak pernah merasa puas sebagai karyawan biasa, mahasiswa yang tidak pernah puas sebelum meraih nilai sempurna, ataupun seorang mahkluk hidup yang tidak pernah puas akan pahala yang didapatnya. Semua sah dan diharuskan tidak lekas berpuas diri.

Akan tetapi bagaimana posisinya bila ketidakpuasan tersebut melebihi ambang kemampuan dirinya? haruskah kita tetap harus tidak berpuas diri? Apakah kita harus terus mengejar rasa dahaga manusiawi? Banyak kasus belakangan ini, ketidakpuasan yang membabi buta dan gelap membuat semua salah langkah. Banyaknya teriakan ketidakpuasan membuat lupa untuk mempelajari syukur. Semua ada kesimbangannya, dan ketidakpuasan memiliki anti yakni syukur.

Jadi, sudahkah kalian bercermin dan menilik diri kalian sendiri hari ini? Sudahkah kalian melihat kondisi dan tertawa menertawakan diri sendiri? Semua sah, bebas berpendapat. Pada akhirnya semua pun akan kembali kepada jiwa masing-masing dalam menjalani cerita hidup sendiri.

Thursday, 12 December 2013

Resah

Selfie dengan muka suram bair agak kekinian
Entahlah bagaimana rasanya semacam pergi tanpa arah peraduan yang jelas. Di depan tampak hitam dan gelap. Ingin kaki melangkah jauh menuju titik terang, tanpa alas injak yang selama ini dikenakan. Ingin berjalan menerabas jalan dengan tangan yang kasar dan lemah ini. Ingin rasa bangkit dari kursi yang nyaman dan empuk. Sekali lagi, semua teramat sangat ingin dilakukan namun gelap dan membuat hati bergelimpangan gundah. Resah tampaknya membayangi rasa yang sudah lama nyaman pada peraduan yang semu.

Gelap harus dilawan dengan cahaya, menampik rasa sulit yang mulai memainkan bola es. Resah? Iya, menyelimuti bayang kedepan tanpa harus tahu kemana tujuan. Akankah saya menjadi makhluk yang tenggelam dalam keresahan? sama dengan jutaan makhluk yang tenggelam dalam keresahaan dan tidak pernah lagi tampak tempurung kepalanya? Semoga saja yang pemilik cahaya hendak bermurah hati membagi kepada makhluk yang lemah dan tidak memiliki daya.

Monday, 13 May 2013

I Use Nikon, and You?

Sentuhan DSLR di mulai dengan meminjam kamera Canon 1000D dan berkelana. Entah moment apa dan bagaimana perkanalan saya dengan Nikon selanjutnya, saya pun tidak ingat tetapi saya merasa jatuh cinta dengan Nikon. Kontrasnya yang mengagumkan dan kualitasnya yang menurut saya lebih baik menjadi sisi keindahaanya. 2010 akhirnya berjodoh hingga kini. Yap. I Use Nikon and how about you?

Tuesday, 7 May 2013

Adakah Yang Merindukan Mereka?

C'mon Lennon
Adakah yang merindukan mereka? Ya, saya merindukan mereka. Meski tak pernah menyaksikan mereka semua bersama dalam satu panggung, tetapi saya merindukannya. Saya merindukan karya-karya mereka. Sebuah ikatan terjalin tak kala kaset Ketika La La La digenggam dan didendangkan melalui perangkat pemutar kaset. Jikalau mereka reunian, maka tunailah kewajiban saya sebagai penggemar C'mon Lennon. Suatu saat nanti, cepat atau lambat, semua akan terbayar lunas!

Thursday, 25 April 2013

Disini Memulai dan Tidak Akan Berakhir


Bertahun-tahun sudah menjabat sebagai Kepala Divisi Music Director di 107.7 FiestA FM, tiada yang akan mengira ini menjadi sebuah gerbang kehidupan. Bermulai dengan modal nekat dan gairah bermusik semata, kini telah berkembang kepada tingkatan yang tidak pernah terbayangkan. Tiada menyangka hal-hal kecil, kini berkembang menjadi hal yang luar biasa dan cukup diluar ekspetasi awal.
107.7 FiestA FM ID Card
November 2009 menjadi awal segalanya, dimana dengan lugu polos namun niat yang bulat memulai memasuki sebuah ruangan studio kuning. Hasrat untuk bergabung di dunia akhirnya di depan mata, penantian yang cukup panjang dan mendebarkan. Sekian lama untuk bisa berkecimpung di dunia broadcasting terlaksana. Di mulai dengan sebuah radio kampus di FISIP UNS berdaya jangkau 3-5 KM. Persetan dengan jangkauan yang penting mulai belajar dan naikkan tensi gairah bersenang-senang.

Banyak hal-hal absurd terjadi. Dimulai liputan pertama di Bandung, pemilihan Kadiv. MD, divisi musik yang berantakan, serta pemilihan GM, dsb. Tiada bisa disebutkan setiap hal secara terperinci dan detail, namun semua cerita itu tergores rapi di secarik kertas yang bernama kenangan. Jelas tinta pengalaman tidak akan terlupa dan selalu terkenang. Suka duka selama 3.5 tahun menjabat mungkin terbilang sebentar namun tidak sesingkat yang diperkirakan. Seorang Jimi Multazam akan berkata "semua terekam tak pernah mati."

Kini, sudah saatnya berganti tangan. Memindahkan kuasa ini kepada mereka yang lebih bergairah dan bersemangat. Memberikan mereka kesempatan untuk belajar dan berkarya lebih untuk 107.7 FiestA FM, terutama dirinya sendiri. Tiada terucap terima kasih untuk segenap crew 107.7 FiestA FM dan alumni. Tidak. bukan crew 107.7 FiestA FM namun keluarga 107.7 FiestA FM lebih tepatnya. Tali rasa yang tersambung semoga selalu terjaga, dan menghiasi hidup.

Tuesday, 23 April 2013

Meltic: Duo Minimalis Masa Kini Rasa Pop 90’ Akhir

 Tidak banyak musisi pop di Kota Solo yang benar-benar tampak dan eksis. Mungkin itu adalah prakata yang cukup tepat untuk menggambarkan scene musik pop di Kota Bengawan. Solo termasyur karena scene metal yang sudah tidak usah diragukan lagi gaungnya. Jikalau ada musisi pop yang hadir, biasanya hanya selintas dan keberadaanya bak oase di padang yang tandus. Maka bisa dibilang Meltic adalah salah satu oase tersebut dan kini cukup ramai diperbincangkan di kalangan hipster Kota Solo.

Band yang terbentuk beberapa tahun silam ini beranggotakan 2 pria yang tampaknya terjebak dalam kisah cinta long distance relationship (LDR) yakni Azis Indro dan Fajri Nossa. Bagi penikmat dan pengamat scene indie di Solo, kedua jejaka tampan ini sudahlah tidak asing. Azis adalah personil unit bengal asli Solo “Sweet Killer” dan Fajri salah satu pentolan dari “PopRadio” yang juga tak akan lama lagi merilis album. Meltic yang mengklaim diri mereka mengusung jazz/accoustic pada awal tahun 2013 ini merilis debut album mereka “Tujuh Belas”.
Album "Tujuh Belas" Meltic
Album perdana mereka ini dimulai dengan 6 lagu plus 1 lagu remix cukup segar untuk didengarkan. Kembali pada format akustik, 6 materi Meltic cukup menyenangkan untuk didengarkan dikala apapun. Easy listening, kalem, dan rapi terdengar ditelinga membuat album “Tujuh Belas” cukup menyenangkan untuk didengarkan dikala santai ataupun menjelang istirahat. Untuk departemen lirik pun, masih bertemakan cinta dan lirik yang disajikan cukup lugas tanpa banyak mengeluarkan kata demi kata maut penebar cinta. Album “Tujuh Belas” ini terasa seperti sebuah cerita yang ingin Aziz dan Fajri ini bagikan kepada yang mendengarkan.

Dilagu pertama yakni “Jauh”, sebuah tembang yang berceritakan soal LDR. Perasaan khawatir perasaan yang kandas dilibas oleh jarak antar dua insan yang bercinta. Takala mendengarkan lagu ini pertama kali cukup kaget karena materi ini direkam dengan full set instrumen band. Di luar prediksi tapi menjadi lagu yang menyenangkan untuk membuka cerita “Tujuh Belas”.

“Rindu” menjadi penghias lagu selanjutnya. Tampaknya disini menjadi sebuah kegoyahan perasaan takala mulai ditinggal. Mungkin itu adalah rasa un-move on feeling. Akan tetapi disini disajikan apa yang menjadi ekspektasi diawal. Petikan senar yang santai dan kalem, tampaknya lagu ini harus dihindari ketika rindu melanda perasaan.

Masih berkutat dengan gejolak rindu dihati, “Hujan” masih melanjutkan perasaan sebelumnya. Hanya saja kali ini lebih dibawakan sedikit lebih cheerful dan sudah mulai terbiasa dengan perasaan rindu ini. “Biar-biarlah hujan membawa seribu kenangan indah antara kita berdua.”

Pemberi harapan palsu (PHP) menjadi tema yang dijadikan di lagu ini. Apakah jarak dan mulainya mengilang perlahan menjadi signal PHP? Mulailah sadar dan mulai mencari kepastian. Full set band menjadi pengiring materi “Apa Benar Cinta” dan menyenangkan untuk didengarkan ditengah-tengah list lagu. Terasa tidak membosankan dan monton. Penempatan yang tepat di tengah.

Pada lagu akhirnya jelas sekali bagaimana posisi hubungan kedunya. It’s like friendzone dan cinta bertepuk sebelah tangan karena baginya “Wanita Terindah”. Saatnya kembali menuju musik melankolis dan ekspetasi duo akustik. Sangat menyegarkan dan menyenangkan untuk didengarkan.

Track ke-6 adalah lagu penutup ”Biarlah” dan disini adalah titik move on di “Tujuh Belas”. Suasana yang lagu yang ceria dan liriknya disini terasa nyata. Liriknya pun tidak terlalu lacur untuk didengarkan namun tidak terlalu puitis. “Selama aku masih bisa menikmati mentari pagi ini yang setia menemani hingga akhir waktu…”

Secara keseluruhan, sound dan lirik yang digubah oleh band yang memiliki akun twitter @melticIndonesia ini melempar saya ke era 90-an akhir. Sekilas mendengarkan album perdana Meltic ini mengingatkan pada band semacam Caffein, Tic Band, Ada Band di era awal, serta sejenisnya. Liriknya tidak terlalu puitis namun tidak juga terlalu merakyat untuk istilah dan diksi yang digunakan. Membeli album Meltic “Tujuh Belas” tidak memberikan penyesalan. Memberikan warna tersendiri di scene musik kota yang berslogan Spirit of Java. Semoga akan ada album selanjutnya.

*Tulisan ini juga dimuat Dean Street Billy's

Monday, 22 April 2013

"Daur, Baur" Pandai Besi: Sentuhan Baru, Materi Lama

Bagi penikmat dan pengamat scene indies Indonesia, beberapa bulan belakangan ini ramai diperbincangkan tentang Pandai Besi. Mungkin sebagian orang banyak yang tidak familiar dengan Pandai Besi, namun apabila menyebut Efek Rumah Kaca (ERK) maka semua akan termangut paham. Pandai Besi merupakan sebuah project sampingan Efek Rumah Kaca disela-sela pengerjaan album ke-3. Untuk mengatasi kebosanan memainkan lagu-lagu dari dua album mereka, Efek Rumah Kaca membuat unit khusus yang mengaransemen lagu-lagu dari dua album terdahulu. Unit Arransmen itu bernama Pandai Besi. "Daur, Baur" hadir atas buah kesenangan Pandai Besi.

Biasanya project sampingan hanya untuk bersenang-senang mengatasi kebosanan, tapi ketika senang-senang itu menjadi sebuah project serius maka direkamlah lagu-lagu arransmen Pandai Besi. Dimana 9 lagu Efek Rumah Kaca kemudian di acak-acak kembali oleh Cholil Mahmud (vokal, gitar) dan Akbar Bagus Sudibyo (drum) ditambah Airil “Poppie” Nurabadiansyah (bas), Andi “Hans” Sabarudin (gitar), Muhammad Asranur (piano), Agustinus Panji Mahardika (terompet), dan Nastasha Abigail serta Irma (vokal latar). Keseriusan ini ditambah dengan pengerjaanya arransmen ini sendiri dilakukan di Studio Lokananta. Sebuah Studio klasik dengan kekuatan magis musikalitasnya yang sudah teruji klinis.
Masalah materi lagu tidak usah dibahas karena hampir semua orang mengetahui bagaimana materi lagu yang dimiliki ERK sudah sangat mumpuni. Hal yang menarik yang sedikit dibahas adalah keseksian Pandai Besi dalam memporak porandakan lagu-lagu ERK dan kemudian membangun dengan interpretasi mereka. Hasilnya sangat menyegarkan, lebih meriah, dan lebih sexy. Menyegarkan karena jelas musik yang dihasilkan berbeda dengan arransmen baru, lebih meriah karena Pandai Besi berdiri atas delapan orang dengan kemampuan khususnya, serta lebih seksi dengan aura yang diberikan.

Hanya saja, entah karena saya menyaksikan dengan segenap indera perasa saat pengerjaan album ini atau kuping saya yang fals, sound yang dihasilkan ketika lagu ini sudah dipadatkan menjadi cakram tidak sesuai dengan apa yang saya rasakan saat lagu-lagu ini direkam. Bagi saya terasa sound yang dihasilkan saat usai direkam terasa lebih menggelegar dan lepas. Terlepas dari itu, saya ingin mengacungkan jempol untuk Lokananta. Bagaimana ruang studio dan tata akustiknya sungguh luar biasa. Suara yang dihasilkan terbilang cukup jelas dan denting demi denting setiap instrumen terasa. Tiada yang bercampur baur dan semua pas pada porsinya.

Selamat mendengarkan "Daur, Baur" dan nikmati hasil karya kalian semua (orang-orang yang terlibat crowdfunding). Rasakan daurannya, dan pada akhirnya, semua akan membaur di dalam Pandai Besi.

*Tulisan ini juga dimuat oleh Dean Street Billy's

Sunday, 21 April 2013

Bekerja di Banyak Media ? Siapa Takut !


FISIP POS - Berkecimpung di dunia jurnalistik menjadi salah satu hobi dari seorang mahasiswa tingkat akhir UNS bernama Ekawan Raharja. Memang orang-orang disekitarnya hanya menganggap teman atau mahasiswa yang biasa-biasa saja. Namun, pada saat dia sudah melepaskan seragam kuliahnya, dia telah menjadi seorang public figure karena menjadi orang yang sangat penting di dunia media, khususnya media music.
Ekawan mengatakan, memang suka dengan hal yang berbau jurnalistik dan nantinya akan digunakan pada saat berada di dunia kerja, serta rasa cinta terhadap dunia music dijadikan alasan mengapa memilih menjadi seorang jurnalis musik di beberapa media. Dimulai dengan bergelut di dunia fotografi, karena memang suka memfoto dan difoto sejak kecil. Kemudian berkembang untuk membuat blog, mencontoh tulisan di media dan mulai belajar menulis. Kemampuannya dalam menulis pun terus bertambah seringin dengan perkuliahan jurnalistik yang membuat dia lebih matang dan terasah dalam teknik menulis.
Ekawan yang saat ini resmi terdaftar di depanmonitor, irockumentary, serta membantu di beberapa media seperti Jakarta Stage (RIP), Review Bastard, dan House of Horror mengaku sering bingung bagaimana cara menghadapi penugasan dari beberapa media dalam satu liputan acara. Namun, dia pintar dalam mensiasatinya. Cukup dengan membuat tulisan yang berbeda dari segi pemilihan kalimat, sedangkan ketika membuat berita langsung, perbedaan dalam mengambil angle berita menjadi pilihannya. Menurutnya, yang paling susah adalah ketika dituntut membuat review suatu acara, dimana harus menjelaskan jalannya acara secara berbeda-beda.
Ekawan mengaku sangat senang menjadi seorang jurnalis musik, dengan cara tersebut dia berhasil mendapatkan banyak teman dan seringkali mendapatkan ‘free pass’ ketika menghadiri acara music. Bagaimana tidak? Dia menjadi kontributor musik di Solo, jika terdapat acara musik di Solo, dia yang meliput. Tidak hanya itu, ketika dihubungi dengan salah satu kantor untuk liputan ke luar kota pun, dia mampu mendapatkan gratisan nonton konser yang cukup besar  dengan jangakuan cukup luas, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.
 
Namun bukan hidup kalau lurus-lurus saja, ekawan pun kesusahan ketika dia hanya mempunyai satu bahan berita, namun harus dibagi ke media yang berbeda-beda. Tetapi bukan ekawan kalau tidak banyak akal, dia selalu pintar mensiasati apapun masalahnya. Menurutnya, spesialisasi dari setiap media berbeda-beda, Irockumentary merupakan media foto, Review Bastard, House of Horror, dan Dean Street Billy’s adalah medua tulis, dan Fiesta Fm serta RKTI merupakan media broadcasting radio, jadi selama masih bisa dipegang dan dikerjakan, ekawan selalu santai untuk menghadapinya. (Sabhrina Herawati / D0210106)
Tulisan diatas merupakan karya dari Sabhrina Herawati, mahasiswi semester enam Ilmu Komunikasi UNS, turuntuk tugas Jurnalistik 2. Saya upload dan berterima kasih untuk tulisannya tentang saya. sedikit aneh takala saya terbiasa menulis profile untuk orang lain, namun kali ini saya menjadi objek tulisan untaian diksi. Terima kasih dan semoga sukses dengan kuliahnya.

Friday, 29 March 2013

“Noise, I’m In Love” Kebisingan Menembus Segalanya!

Poster Noise, I'm in Love!
Malam Jumat (28/3) yang cerah dan tenang. Kepulan asap rokok yang membumbung tinggi dibalut dengan senda gurau yang intim dan bersahaja. Wisma Seni Taman Budaya Surakarta masih dalam keadaan yang hangat dan temaram seperti biasanya. Arloji ditangan masih menunjukan pukul 19.25 WIB dan dalam beberapa jam kedepan, suasana seperti ini akan berubah drastis 180 derajat.
Adis & Nanang
Tepat pukul 19.30, “Noise, I’m In Love” dimulai dengan ocehan duo MC Adis dan Nanang. Mereka memulai acara ini dengan kelakar mereka yang renyah dan gimmick yang cukup menggundang gelak tawa. “Noise, I’m In Love” merupakan gigs pertama diawal tahun 2013 di Kota Solo yang diprakasi oleh Dean Street Billy’s berkolaborasi dengan UKM Band ISI Surakarta. Gigs kali ini menampilkan sebuah pertunjukan musik yang sederhana, menembus norma dan dogma musik yang ada. Tak perlu panjang lebar setelah membacakan sponsor malam ini, Morphe Memory dipersilahkan mengambil alih acara malam ini.
Morphe Memory
Sekilas band ini tampak biasa dan normal. Beranggotakan 3 orang dengan peralatan band yang normal. Perlahan drum mulai diketuk membuat ritme untuk kali ini, line bass tipis mengisi kekosongan menjaga nada rendah. Mengalun dengan perlahan dan tenang. Sekilas saya berpikir bahwa ini adalah Blues dengan melodi gitar yang bersih tanpa distorsi. Akan tetapi semua itu adalah tipu daya dan ini adalah “Noise, I’m In Love”. Nanang, gitaris Psikotropika sekaligus MC, mulai memperkosa gitarnya. Mulai dari menyegamakan gitarnya dengan amplifire, dan kemudian menghancurkan konfigurasi efek gitarnya. Raungan gitar dan noise yang dihasilkan efek berhasil mencabik suasana tenang malam itu. Liar dan beringas. Sayang penampilan mereka tidak disaksikan oleh banyak orang, pengunjung mulai berhamburan takala Morphe Memory usai mengandaskan ketenangan malam itu. Tampaknya penonton yang baru datang tadi kehilangan salah satu moment terbaik di “Noise, I’m In Love”.
Psikotropika
Selanjutnya Psikotropika melanjutkan dengan kebisingannya. Bermodal dari selongsong bambu yang disambungan dengan pedal efek gitar dan kemudian dikawinkan dengan alat bor, maka lahirnya ambient suara yang tringinas. Melengking menyentuh nada-nada atas, membius menembus gendang telinga. Inilah duo bising yang paling dinanti selain headliner acara kali ini. Konon katanya, projek “Bambu Bising” ini merupakan projek lama yang terhenti beberapa tahun silam. Sebuah tragedi menghempaskan Morphe Memory, namun di “Noise, I’m In Love” projek ini kembali dipertunjukan. Usai Morphe Memory, yang tersisa hanyalah tepuk tangan penonton serta dengungan panjang di dalam tempurung kepala.
Minox "Carment"
Aksi bising kedua grup tadi, dinetralisir oleh Carment yang didaulat menjadi pengisi acara yang ketiga. Masih dengan formasi yang lama, dan tampaknya Carment memang selalu ditunggu oleh jamaah cutting edge Kota Solo. Terbukti penampilan mereka berhasil membuat penonton yang sedari duduk manis sembari bertegur sapa dengan teman-teman merapat ke depan panggung. Penonton dengan hikmat menyanyikan bait demi bait yang dilantunkan oleh Wisnu sang pendoa dibalik mic. Check sound yang kilat serta peralatan yang terbilang minim tak menghalangi untuk menghasilkan sound yang cukup enak didengarkan. Tak salah jikalau band-band di Kota Solo menggangap Carment adalah band yang memiliki sound terbersih dan “terempuk” di telinga. Hanya di saat Carment bermain, beberapa wanita ekspatriat yang hadir di malam itu mengibaskan rambutnya dan berjoget menikmati musik Indie-rock yang disuguhkan. Apakah Carment idola wanita bule masa kini?

Trouble yang cukup lama cukup menghambat penampil keempat untuk unjuk meramu kebisingan yang dia punya. Smith alias Matikau adalah seorang Indonesia asli yang siap mengaduk-aduk suasana malam itu. Tampaknya malam Jumat memanggil dirinya adalah moment yang sangat pas dan mencengangkan. Seketika lampu dimatikan, dan kemudian lantunan narasi layaknya keadaan di alam kubur mulai berkumandang lengkap dengan backsound gemuh kilat yang menggelegar. Jeritan siksa dan isak tangin kepedihan menjadi senjata utama kebisingan Matikau. Efek-efek gitar yang disusun mulai diperkosa untuk menghasilkan bising dan dengungan tajam memekakan telinga. Sebuah jenis pertunjukan yang baru dimana sebuah fenomena alam kubur yang kemudian dirubah menjadi sebuah pertunjukan musik. Bergidik bulu kuduk dikala itu. Matikau sesangar namanya, dan musiknya cukup membuat yang hadir dikala itu ingat dengan akhirat walau sejenak.
The Sablenk
 Institut Seni Indonesia memang gudangnya para seniman. Jikalau anda tidak cukup gila, maka anda belum sampai pada tahapan seniman. Hal itu yang ditampilkan oleh The Sablenk. Seperti namanya The Sablenk yang berarti gila, ketika pemuda mahasiswa ISI Surakarta pun menunjukan kegilaan mereka dalam mercik musik. Panci masak yang biasanya dipakai untuk menggoreng, kini dikawinkan dengan efek gitar dan dimasukan kedalam amplifire. Akan tetapi kegilaan mereka belum berhenti sampai disana, The Sablenk berhasil menciptakan alat musik mereka sendiri dan diberi nama “Senar Mubeng”. Adis menceritakan bahwa The Sablenk mengusung genre Noise/Contemporer. Nada-nada suling yang dimainkan menjadi nada dasar The Sablenk, dan Bebunyian sedari panci dan Senar Mubeng menjadi pelengkap noise alunan mereka. Perlahan mereka bermain dengan alunan yang lambat dan seketika menukik dengan alunan yang cepat, notasi itu terjadi berulang kali. Standing Ovation dan riuh penonton menyambut kesudahan aksi gila The Sablenk.

Seniman lokal dalam negeri usai sudah unjuk gigi, kini giliran musisi luar yang pamer keberisikan mereka. Matt Shoemaker, ekspatriat asal USA, dipersilahkan untuk menunjukan kemampuannya. Waktu yang cukup lama diperlukan untuk mengeset alat. Sekitar 10 menit lebih Matt berkutak atik dengan alat-alat bikininannya sendiri. Dia menggunakan tangga, gelang spiral, radio bekas, efek gitar, serta beberapa sensor cahaya untuk menghasilkan alunan musik jiwanya. Menurut selentingan bisik yang terdengar, Matt menghasilkan suara dari gelombang rambat yang dihasilkan oleh gelang spiralnya yang kemudian diolah. Lagi-lagi bebunyian nada tinggi merusak suasana tenang malam itu. Beberapa orang yang hadir dikala itu tertegun dengan seksama menyaksikan penampilan Matt yang ekspesif. Beberapa kali Matt menunjukan guratan wajah yang serius dengan guratan didahinya. Tampak Matt menikmati suara-suara yang melenting yang masuk ke dalam telinganya. Keyakinan itulah yang Matt tunjukan terhadap musikalitas yang dimilikinya. Semua terhenyak, memejamkan mata dan seolah menikmati apa yang disajikan Matt.
Nikola Mounoud
Pukul 22.00 WIB, dan puncak acara sudah akan dimulai. Nikola Mounoud, noise artis asal Swiss, bersiap pamer musikalitasnya. Dia penampil paling sederhana dengan laptop dan mixer 4 channelnya. Mixer ini langsung dicolok ke 4 sound system yang tersedia malam itu. Meski gear yang digunakannya terhitung minim dan sederhana, namun tenaga yang dihasilkan tidak seminim apa yang dia gunakan. Terbukti sound yang dihasilkan sangat bertenaga dan terasa lebih berat ketibang para penampil sebelumnya. Dia menggunakan feed-back yang ada pada sound system dan kemudian diolah melalui software hasil rancangannya sendiri. Nikola membuat sebuah software untuk mengolah feed-back selama lima tahun dan diberi nama MSP. Penampilan Nikola sangat mengundang rasa penasaran penonton untuk mendekati dan melihat bagaimana dia mengolah semua feed-back yang ada. Decak kagum serta teriakan kegilaan penonton membuat Nikola semakin bersemangat dan kian panas untuk mengutak atik softwarenya. 30 menit sudah kebisisngan memenuhi malam dan mendadak Nikola menutup laptopnya sembari membalikan meja yang ada dihadapannya. Sebuah laptop, mixer, dan smartphone bergeletakan dilantai seketika. Nikola ambruk sembari berkata “Enough, I’m drink to high”. Tampaknya Nikola benar-benar menikmati penampilannya di Kota Solo dan tendensi minuman khas Kota Solo mengantarkan orgasme musikalitasnya. “Noise, I’m In Love” usai dan semua kembali tenang seketika.

“Noise, I’m In Love” bisa dibilang bukan gigs yang lazim seperti biasanya. Kali ini “Noise, I’m In Love” menyuguhkan musikalitas yang bener-bener menembus batas-batas norma dan kaidah dalam bermusik. Hampir bisa dibilang 7 tangga nada yang menjadi pakem bermusik selama ini tidak digunakan. Selama semua itu bisa menghasilkan bebunyian maka lanjutkan terus musikmu. Tiada pakem dalam musik ini, semua hanyut dalam dunia individu. Mengutip perkataan nanang “musik noise itu adalah dikala kamu tidak bisa bermain alat musik tapi kamu ingin bermusik, maka itu adalah musik noise”.
Penonton Noise I'm in Love
 Selain menembus kaedah bermusik, acara “Noise, I’m In Love” pun menembus antar bangsa. Terbukti baik orang lokal maupun warga negara asing yang hadir dikala itu membaur dan bercengkrama satu dengan lainnya. Tiada sekat kecanggungan miss communication terjadi diantara mereka. Mereka semua berbicara atas bahasa yang sama dan atas intuisi tertajam mereka semua, musik! Gelak tawa, sorak gembira, teriakan kesenangan, sampai obrolan renyak tersaji malam itu, di Malam Jumat yang dingin namun cerah. Semua orang bersuka cita, menyambut keriaan malam itu. Bagi banyak orang kebisingan adalah pengganggu yang menyebalkan, namun lain hal bagi segelintir orang dengan kebisingan mereka bersatu dan bersuka cita bersama. Kebisingan Menembus Segalanya!
*Tulisan ini dimuat oleh Dean Street Billy's dan Gigsplay