Sabtu, akhir pekan yang terpuji, datang tepat pada waktunya. Entah
kenapa terasa berdesir halus laju darah, membangkitkan bulu di tangan.
Sudah terbayang akan betapa liarnya menikmati Bandung di akhir pekan.
Ramai riuh menyambut. Tas yang penuh dengan tumpukan baju, sebuah handuk
kecil melingkar dileher, serta tiket PP Solo - Bandung yang siap
ditukar menjadi pelengkap perjalanan ini. Sebuah perjalanan tiada
diketahui seperti apa tempat yang dituju. Baru pertama kali ini, saya
menuju Bandung namun bukan ke Kawasan Dago. Yang jelas itu sudah dekat
menuju jalan tol ke Jakarta.
Bermodal motor bebek dengan perlahan melaju, melewati beberapa jalan tikus dengan pasti. Sebelum mampir menuju Solobalapan, melipir sejenak menuju sebuah tempat makan di bilangan Slamet Riyadi. Membeli bekal untuk perjalanan menuju tanah rantau. Bisa dibilang cukup mahal namun setidaknya rasanya terjamin dan jelas kenyangnya. Menyelamatkan saya dari kelaperan di tengah jalan. It's gonna be a long day dan great day. Segera melesat menuju Solobalapan dan menghempaskan badan di kursi bisnis yang terasa nikmat untuk seorang backpacker.
Tiada banyak cerita dalam perjalanan. Hanya musik dan twitter yang menemani dengan setia. Duduk disamping ibu-ibu yang tampak masih muda dan langsung tertidur ketika menghempaskan diri di kursi kereta. Selebihnya hening serta suara laju kereta menjadi latar perjalanan kali ini.
Pukul 17.30, Lodaya
merapat penuh di Stasiun Bandung. Sebuah perasaan lega sekaligus was-was
menyambut. Lega, akhirnya bisa mencapai Bandung dan bisa segera mencari
tempat bernaung untuk 2 bulan kedepan. Was-was karena dimanakah
penginapannya? Bermodalkan petunjuk arah melalui sms yang diberikan oleh
penginapan dan modal bertanya kepada local people, perjalanan menuju
penginapan pun dimulai. Mulai mereka-reka bagaimana bentuk kamarnya
nanti. Keluar stasiun dan macet menyambut. Layaknya Jakarta
dihari-harinya namun dengan suasan yang dingin. 1 jam perjalanan dan
akhirnya sampailah di penginapan.
Impresi pertama yang didapat
adalah pelayanan yang ramah dan terletak didaerah yang cukup borjuis.
Sangat mudah dijangkau dan dekat dengan banyak landmark Bandung sebagai
Paris Van Java. Kamar yang bersih, kipas, tv cabel, kasur yang bersih,
dan kamar mandi yang bersih pula cukup membuat betah dan berpikir untuk
tidak pindah kepenginapan lain. Sebuah welcome drink diberikan, teh
hangat dan aromanya sungguh mengembalikan sedikit energi. Air yang segar
pun menyambut badan yang lelah setelah perjalanan untuk waktu yang
cukup lama. Semua didapat hanya dengan Rp. 150.000,-.
Ingin hati segera tidur namun perut tampaknya enggak berdamai dengan keinginan hati. Segera keluar menjejakan di tengah kerumunan di seberang jalan. Sebuah foodcourt tergelar dan ramai dengan acara sebuah radio lokal. Tampak ada sebuah girlband bernyanyi namun tak cukup menarik untuk disaksikan. Mie kocok menjadi pilihan dan tampaknya menjadi pilihan yang salah. Lidah tak menerima masakan ini. Nasi adalah yang primadona lidah dan perut. Tak ingin lama menghabiskan keriaan dimalam minggu, bergegas kembali ke penginapan dan mencoba terlelap. Apa daya mata tak ingin terpejam meski kantung meradang, dan seorang teman saya, Mentari, menemani via telepon. Pukul 1 dini hari, mata pun terlelap dan menyongsong Minggu.
Bermodal motor bebek dengan perlahan melaju, melewati beberapa jalan tikus dengan pasti. Sebelum mampir menuju Solobalapan, melipir sejenak menuju sebuah tempat makan di bilangan Slamet Riyadi. Membeli bekal untuk perjalanan menuju tanah rantau. Bisa dibilang cukup mahal namun setidaknya rasanya terjamin dan jelas kenyangnya. Menyelamatkan saya dari kelaperan di tengah jalan. It's gonna be a long day dan great day. Segera melesat menuju Solobalapan dan menghempaskan badan di kursi bisnis yang terasa nikmat untuk seorang backpacker.
Tiada banyak cerita dalam perjalanan. Hanya musik dan twitter yang menemani dengan setia. Duduk disamping ibu-ibu yang tampak masih muda dan langsung tertidur ketika menghempaskan diri di kursi kereta. Selebihnya hening serta suara laju kereta menjadi latar perjalanan kali ini.
Stasiun Bandung |
Hotel Picasso 19 |
Ingin hati segera tidur namun perut tampaknya enggak berdamai dengan keinginan hati. Segera keluar menjejakan di tengah kerumunan di seberang jalan. Sebuah foodcourt tergelar dan ramai dengan acara sebuah radio lokal. Tampak ada sebuah girlband bernyanyi namun tak cukup menarik untuk disaksikan. Mie kocok menjadi pilihan dan tampaknya menjadi pilihan yang salah. Lidah tak menerima masakan ini. Nasi adalah yang primadona lidah dan perut. Tak ingin lama menghabiskan keriaan dimalam minggu, bergegas kembali ke penginapan dan mencoba terlelap. Apa daya mata tak ingin terpejam meski kantung meradang, dan seorang teman saya, Mentari, menemani via telepon. Pukul 1 dini hari, mata pun terlelap dan menyongsong Minggu.
No comments:
Post a Comment