Friday 22 June 2012

Saya Suka Naik Bus Dalam Kota

Bus Tingkat di era 90' Jakarta
Sebuah judul yang cukup aneh dan lucu. Saya suka naik bus dalam kota. Cukup aneh dan terasa seperti bukan bisanya. Akan tetapi demikianlah adanya dan memiliki cerita tersendiri. Sangat sederhana dan ketika dipikirkan saat ini, cerita tersebut akan selalu berkesan untuk pribadi dan selamanya.

Masih teringat jelas di umur saya 5 tahun dan menggunakan kaos bergambar Mickey Mouse, saya menaiki Bus Damri untuk terakhir kali di Jakarta. Ketika kecil, saya adalah tipe orang yang suka sekali berpergian dan selalu ikut ketika kedua orag tua saya akan pergi. Bahkan menerjang kerumunan Mangga dua dikala penuh sesak pun teramini. Kondisi bus patas yang kotor, panas, serta ramai sudah menjadi makanan sehari-hari dikala itu. Ramai disiang yang panas menuju Kawasan Gunung Sahari, semakin menjadi tak kala seorang anak kecil, mungkin sekitar 3-4 tahun, menangis tak henti-henti. Bahkan seketika bus sudah berjalan selama 15 menit pun, isak tangis tersebut tak kunjung reda. Sang ibu pun tampak mencoba menenangkan anaknya yang sedari tadi menangis dan kian menjadi. Tak lama kemudian bus berhenti cukup lama, mungkin sedang ngetem untuk mencari penumpang seperti biasanya, namun kali ini tiada penumpang yang masuk dan kondektur bus pun tampak tak acuh dengan berhentinya bus ini. Beberapa lama kemudian naik seorang bapak tua, yang  akhirnya saya ketahui bahwa beliau adalah supir Bus Damri yang saya tumpangi, dan mendatangi anak kecil yang menangis tersebut. Bapak tesebut mengeluarkan sebuah pembalut luka dan kemudian memasangkan kepada jari anak kecil yang menangis sedari tadi. Bapak tersebut bilang barusan turun dan membeli pembalut luka di warung karena dikasih tahu kernetnya bahwa si anak kecil ini menangis karena jarinya terluka dan berdarah. Seketika dalam hati berkata "bapak supir itu kok baik banget dan keren." Semenjak itu saya lebih suka naik kendaraan umum ketika berpergian agar bisa melihat bapak itu lagi.

Entah kenapa kejadian sederhana tersebut terasa dramatis dan penuh dengan tendensi humanisme. Saya seakan tersihir akan moment tersebut dan apa yang bapak supir bus tersebut lakukan. Tak terdeskripsikan dengan kata-kata bagaimana mengekspresikannya. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan menggoreskan di hati. Tiada maksud khusus dalam tulisan ini hanya ingin berbagi cerita dan mungkin moment ini menjadi salah satu perjalanan hidup saya yang membentuk saya.

No comments:

Post a Comment